JAKARTA, KOMPAS.TV - Pegiat media sosial yang juga seorang Data Scientist bernama Ismail Fahmi ikut menanggapi klaim Menteri Koordinator (Menko) Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan soal big data penundaan Pemilu 2024.
Diketahui, Luhut sebelumnya mengakui punya big data yang menunjukkan sebanyak 110 juta warganet menginginkan penundaan Pemilu 2024, termasuk perpanjangan masa jabatan presiden hingga 3 periode.
Baca Juga: Jadi Tersangka atas Laporan Luhut, Haris Azhar: Ini Politis untuk Membungkam Saya
"Dari sisi big data sangat tidak mungkin alias impossible dapat menetapkan data 110 juta suara netizen yang mendukung wacana penundaan pemilu dan 3 periode," kata Ismail Fahmi dikutip dari keterangan resminya, (22/3/2022).
Fahmi mengungkapkan, bagi para ahli IT atau media sosial, sangat susah untuk bisa mengumpulkan data dari Facebook dan Instagram.
"Apalagi masyarakat umum biasanya tidak tertarik bicara soal-soal elitis, misalnya tentang penundaan pemilu," ujar Fahmi.
Di media sosial Twitter saja, kata dia, tidak akan dijumpai 1 juta suara netizen tentang topik-topik elitis seperti penundaan Pemilu 2024 tersebut.
Baca Juga: Haris Azhar Singgung Laporan Luhut Diprioritaskan dan Merasa Didiskriminasi Hukum
"Pada isu RUU Sisdiknas saja yang sangat penting, netizen tidak ada yang membicarakan. Padahal isu itu sama pentingnya dengan isu perpanjangan jabatan presiden," tutur Fahmi.
Fahmi mengatakan di bidang big data, tidak bisa hanya asal bicara ada 110 juta pendukung wacana penundaan pemilu dan 3 periode presiden.
"Semuanya harus bisa dibuktikan," kata Ismail Fahmi.
Fahmi mencontohkan ketika Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyebut ada 100 jutaan suara netizen yang mendukung penundaan pemilu.
Baca Juga: Jadi Tersangka Nama Baik Luhut, Fatia: Mestinya Presiden Jokowi Tidak Sibuk Kriminalisasi Aktivis
Untuk membuktikan ucapan Ketua Umun PKB itu, kata Fahmi, pihaknya telah melakukan analisis big data. Hasilnya, ternyata ucapan Cak Imin itu tak sesuai fakta di lapangan.
"Paling mentok hanya di angka 20 ribu saja di Twitter. Pada periode analisis pendek netizen yang berbicara hal itu juga maksimal 10 ribu saja. Itupun mayoritas menolak," kata Fahmi.
Lebih lanjut, Fahmi mengatakan, dari jejaring komunitas yang mempunyai tools big data seperti Lab 45 yang dituding memasok data ke LBP pada 2021, pihaknya juga telah melakukan analisis data.
"Hasilnya, hanya 10 ribuan saja dimedsos yang bicara 3 periode jabatan presiden, itupun juga mayoritas menolak," ucap Fahmi.
Baca Juga: Juniver Bantah Luhut Bungkam Kebebasan Berpendapat: Beliau Tidak Anti Kritik
Sedangkan dari sample data Drone Emprit yang diambil sejak Januari 2021 selama 6 bulan sampai 1 tahun, juga hasilnya tetap sekitar 23 ribuan suara netizen yang berbicara penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
"Pengguna Facebook pada 2021 saja berkisar 140 jutaan orang, bagaimana mungkin bisa disebut data 110 jutaan suara netizen (lebih dari 50 %) yang mendukung wacana penundaan pemilu dan 3 periode presiden," ujar Fahmi.
"Twitter saja dari 18 juta user jika 50 persen ada 9 juta, jika dibandingkan dengan 20 ribu percakapan netizen masih sangatlah jauh."
Menurut Fahmi, penggunaan big data oleh pemerintah untuk hal-hal yang tidak benar perlu dicegah. Apalagi jika hal yang tidak benar itu disampaikan ke publik.
Baca Juga: Jenazah Perwira Polisi Korban Penembakan Tahanan Kasus Narkoba, Akan Dipulangkan ke Kampung Halaman
"Harus dicegah jangan sampai big data digunakan oleh pemerintah untuk hal-hal tidak benar guna menyampaikan kepada publik yang memang tidak tahu apa-apa tentang big data" ujarnya.
"Data dari analisis big data harus terbuka metodologinya, jelas sumbernya, karena big data gampang sekali duplikasi ulang."
Lebih lanjut, Fahmi mengungkapkan fakta sebaliknya bahwa suara warganet yang menolak wacana penundaan pemilu masih yang terbanyak.
Tetapi, justru yang sedang dibangun saat ini di lapangan malah dukungan di daerah-daerah terkait perpanjangan masa jabatan presiden dengan pemasangan baliho dan spanduk-spanduk.
Baca Juga: Penetapan Haris Azhar Jadi Tersangka Pencemaran Nama Baik Luhut Dianggap Sebagai Kriminalisasi
"Mereka mengharapkan isu itu akan membesar dan akan dianggap sebagai isu yang didukung oleh banyak khalayak," ujar Fahmi.
"Satu riset di Inggris menyatakan big data bisa digunakan oleh kekuasaan dan bisa menjelma menjadi alternatif penindasan di era digital, berkedok pembenaran kuantifikasi."
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.