JAKARTA, KOMPAS.TV - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo mengungkapkan hasil gelar perkara yang dilakukan Bareskrim Polri terkait kasus dugaan korupsi dana desa di Desa Citemu, Cirebon, Jawa Barat.
Diketahui, dalam kasus ini, penyidik Polres Cirebon sebelumnya telah menetapkan Kepala Urusan (Kaur) Desa Citemu, Nurhayati, sebagai tersangka dugaan korupsi dana desa.
Baca Juga: Soal Kasus Nurhayati, Komisi III DPR: Peringatan buat Polri, Jangan Main-Main dalam Menegakkan Hukum
Namun berdasarkan hasil gelar perkara, kata Dedi, Bareskrim Polri menemukan ada ketidakcermatan penyidikan dalam menafsirkan peristiwa hukum, sehingga Nurhayati ditetapkan sebagai tersangka.
Sementara dari hasil penyidikan Polres Cirebon, Dedi menyebut, terdapat perbuatan Nurhayati yang dianggap melanggar.
Namun, perbuatan yang dilanggar itu hanyalah pelanggaran administrasi. Penyidik Bareskrim Polri tidak menemukan ada niat jahat yang dilakukan Nurhayati.
Menurut dia, tindakan yang dilanggar oleh Nurhayati adalah peraturan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait dengan tata kelola penggunaan anggaran pendapatan dan belanja desa.
Baca Juga: Kejagung: Jaksa Tidak Tahu Kalau Nurhayati Ternyata Pelapor Kasus Korupsi Dana Desa
“Masalah penafsiran terhadap peristiwa hukum itu tidak mungkin sama,” ujar mantan Kapolda Kalimantan Tengah itu.
“Penafsiran di tingkat penyidik polres, ya, seperti disampaikan tadi perbuatannya ada tetapi hanya pelanggaran administrasi, niat jahatnya tidak ditemukan karena apa yang dilanggar peraturan Kemendagri.”
Terkait dengan ketidakcermatan penyidik, kata Dedi, itu menjelaskan bahwa keadilan hukum (legal justice) yang menjadi pedoman adalah hukum acara pidana.
Selain itu, Polri juga memiliki undang-undang kepolisian, begitu pula kejaksaan yang memiliki undang-undang kejaksaan, dan hakim juga mempunyai undang-undang kehakiman.
Baca Juga: Mahfud MD: Nurhayati Bukan Pelapor, Tapi yang Pertama Menyingkap Dugaan Korupsi
Dengan demikian, kasus Nurhayati harus dilihat secara utuh, tidak hanya bicara tentang keadilan hukum, tetapi juga tentang keadilan sosial (social justice).
“Tidak hanya mengejar kepastian hukum, tetapi keadilan dan kemanfaatan hukum itu juga harus memperhitungkannya,” ucap Dedi.
Dedi menyebutkan, dua pertimbangan inilah yang menjadi dasar penyidik Polri dan Kejaksaan untuk menghentikan kasus Nurhayati atau mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
Selain itu, Dedi juga menekankan tidak ada yang salah dalam perkara ini karena memang kecermatan penafsiran terhadap suatu peristiwa pidana itu tidak mungkin sama alias berbeda-beda.
Baca Juga: Belajar dari Kasus Nurhayati, Kompolnas: Yang Bermasalah adalah Koordinasi Penyidik dan Jaksa
"Di tingkat Polri seperti itu, tingkat polda seperti itu kasusnya, ini diambil alih oleh Mabes, lebih melihat secara komprehensif terkait dengan masalah penerapan suatu peristiwa pidana," tutur Dedi.
Karena itu, kata dia, penyidik yang menetapkan Nurhayati sebagai tersangka dugaan korupsi dana desa tidak akan diperiksa oleh Bidang Propam Polri.
Saat ini, Dedi menambahkan, Polri dan Kejaksaan tengah fokus menuntaskan perkara Nurhayati dengan menghentikan penuntutan terhadapnya pada hari ini juga.
"Tidak (diperiksa Propam). Sementara ini tidak dahulu. Fokus kami adalah terkait masalah kasus Nurhayati harus segera dihentikan, ya, harus segera dihentikan," kata Dedi.
Baca Juga: ICW Desak Propam Polri Panggil Penyidik Polres Cirebon yang Tetapkan Tersangka Nurhayati
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.