“Betapa tidak, berdasarkan pengakuan Ketua Badan Permusyawaratan Desa Citemu, terbongkarnya perkara korupsi yang menyeret Kepala Desa di wilayah tersebut justru didapatkan berkat informasi dari Nurhayati,” ucapnya.
“Sehingga, dengan logika sederhana, bagaimana mungkin Nurhayati yang memberikan informasi, justru dirinya ditetapkan sebagai tersangka,” tambahnya.
Atas dasar itu, Kurnia pun menilai langkah hukum Polres Cirebon yang terkesan dipaksakan menimbulkan sejumlah persoalan serius.
“Pertama, nama baik Nurhayati telah tercemar akibat status tersangka yang disematkan Polres Cirebon,” kata Kurnia.
“Kedua, penetapan tersangka kepada pihak yang diduga memberikan informasi berpotensi besar menyurutkan langkah masyarakat untuk berkontribusi dalam isu pemberantasan korupsi,” tambahnya.
Baca Juga: Kabareskrim Polri: Penyidik Polres Cirebon Tetapkan Nurhayati Tersangka Atas Petunjuk Jaksa
Menurut Kurnia, permasalahan ini semestinya tidak terjadi jika saja Polres Cirebon bertindak professional.
“Setidaknya memahami perbedaan perbuatan pidana dan administratif serta ketentuan “Alasan Pembenar” dalam hukum pidana yang disebutkan Pasal 51 KUHP,” tegas Kurnia.
Dalam kasus Nurhayati, lanjut Kurnia, penting untuk ditekankan, Pasal 41 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah menjamin adanya peran serta masyarakat.
Salah satunya, terkait hak memberikan informasi dugaan korupsi kepada aparat penegak hukum dan mendapatkan perlindungan hukum.
Baca Juga: Kabareskrim Sebut Kejaksaan Agung Sepakat Hentikan Perkara Korupsi Nurhayati
“Maka dari itu, sejak awal Indonesia Corruption Watch (ICW) menyerukan dua hal, yakni, desakan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk segera memberikan perlindungan hukum kepada Nurhayati dan permintaan supervisi dari KPK terhadap kinerja Polres dan Kejari Cirebon,” katanya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.