YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah Indonesia tengah menyusun sejumlah skenario transisi situasi Covid-19 dari pandemi ke endemi. Namun, epidemiolog menyebut fase endemi tidak akan bisa dicapai dalam waktu dekat.
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Panjaitan mengaku pihaknya tengah menyusun skenario transisi dari pandemi ke endemi. Pada konferensi pers hasil rapat terbatas PPKM, 21 Februari lalu, Luhut menyampaikan pemerintah hendak melakukan “transisi bertahap” menuju endemi.
Covid-19 dianggap endemi ketika sebatas menyebar di wilayah-wilayah tertentu. Sedangkan pandemi adalah situasi ketika Covid-19 masih menjadi wabah berskala global yang faktor pendorong penularannya lebih kuat dari faktor yang membatasi.
Apabila status endemi ditetapkan, umumnya kebijakan pembatasan dan surveilans pun disesuaikan menjadi lebih longgar. Singkatnya, situasi endemi berarti masyarakat dibiasakan “hidup berdampingan” dengan Covid-19.
Luhut menyampaikan bahwa transisi endemi Indonesia akan disusun dengan prinsip kehati-hatian serta berdasarkan data kesehatan, ekonomi, dan sosial budaya.
Baca Juga: Target Luhut: Mulai 1 April 2022 PPLN Bebas Masuk RI tanpa Karantina
Juru bicara vaksinasi Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan bahwa Indonesia mesti memperhatikan sejumlah indikator dulu sebelum memulai proses transisi.
Nadia mengaku pemerintah belum bisa memberi target jangka waktu mengenai transisi. Selama enam bulan berturut-turut, ia menyebut pemerintah akan memantau berbagai indikator terlebih dulu, antara lain adalah laju penularan (reproduction number) serta target vaksinasi lengkap 70% dari populasi.
"Kalau bicara soal transisi, kita menyiapkan, ya. Bagaimana kasus bisa terkendali atau terkontrol. Kita siapkan bagaimana kita bisa hidup bersama dengan Covid-19,” kata wanita dengan gelar magister epidemiologi ini.
Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono menyampaikan bahwa transisi ke endemi tidak akan bisa dilangsungkan dalam waktu dekat. Ia menegaskan, situasi wabah terkini menunjukkan Indonesia masih jauh dari status endemi.
“Luar biasa salahnya itu (jika transisi dalam waktu dekat). Jangan transisi sebelum yakin tentang penyakitnya,” kata Miko.
Menurutnya, masih banyak yang perlu diperbuat berkenaan dengan pemantauan perkembangan wabah, membuat prediksi, dan membuat desain kebijakan sebelum memulai transisi.
Baca Juga: Kurva Covid-19 Melandai, Menkes Optimistis Keadaan Pandemi di Indonesia saat Lebaran 2022 Membaik
Miko pun skeptis dengan kebijakan sejumlah negara yang telah beranjak dari situasi kedaruratan pandemi Covid-19. “Luar biasa beraninya itu,” katanya.
Pada Februari 2022, sejumlah negara telah mencabut sebagian besar pembatasan terkait Covid-19 atau bahkan mencabut status pandemi.
Inggris Raya secara resmi memberlakukan rencana “hidup dengan Covid”. Per 24 Februari, Inggris Raya meniadakan sebagian besar pembatasan termasuk kewajiban isoman lalu meniadakan pengetesan massal gratis per 1 April nanti.
Sementara itu, Swedia telah mendeklarasikan “pandemi berakhir” sejak 9 Februari lalu. Kendati diprotes ilmuwan, Swedia nekat mencabut sebagian besar aturan pembatasan dan meninggalkan pengetesan massal.
Inggris Raya dan Swedia merujuk semakin turunnya tingkat rawat inap dan kematian di tengah wabah Omicron untuk mengakhiri status kedaruratan pandemi. Suksesnya kampanye vaksinasi dan imunitas populasi dianggap cukup untuk “mengakhiri pandemi.”
Gelombang Covid-19 varian Omicron dinilai lebih bisa dikendalikan sehingga sejumlah negara berani mengambil keputusan “mengakhiri pandemi”. Di Indonesia, gelombang Omicron pun disebut menunjukkan sinyalemen positif bagi transisi ke endemi.
Baca Juga: Di Tengah Wacana Wamenkes, Tambahan Dosis Vaksin ke-4 Perlu?
Sejak dideteksinya varian Omicron pada Desember 2021 lalu, jumlah kasus positif meningkat. Pada 16 Februari, kasus harian nasional bahkan telah melampaui puncak kasus Delta. Sepekan terakhir, kasus positif harian ada di angka 34.000 hingga 61.000.
Akan tetapi, hal tersebut dibarengi tingkat kesembuhan yang tinggi. Serta, tingkat BOR terjaga di angka sekitar 38%.
Tingkat kematian selama gelombang Omicron mencapai 100-an hingga 200-an per hari dibanding puluhan ribu kasus positif. Angka kematian tertinggi selama gelombang Omicron tercatat pada 1 Maret, yakni sebanyak 325 kematian.
"Kalau kita lihat, kenapa bisa lebih optimis (di tengah gelombang Omicron) karena perawatannya lebih terkendali, kan. Makanya kita bisa berani dan lebih optimistis setelah melihat kondisi-kondisi ini,” kata Nadia.
Ketika gelombang Delta meledak pada Juli 2021 lalu, angka kematian mencapai 1.000 lebih per hari. Secara nasional, Indonesia mencatat angka kematian per hari tertinggi ketika gelombang Delta, yakni 2.069 kematian pada 27 Juli 2021.
Meskipun demikian, Miko menolak anggapan bahwa tren kasus Omicron telah melandai. Ia menyebut kasus harian masih bisa meledak sewaktu-waktu.
“Ini (angka kasus) masih seperti Juli 2021 (Delta), angkanya belum landai, baru turun sedikit, bisa naik lagi,” kata Miko.
Baca Juga: Hati-Hati! Kemenkes Sebut Kasus Omicron di Indonesia Didominasi Transmisi Lokal
Di lain sisi, tren selama Omicron pun berbeda-beda tiap negara. Pada awal kemunculan varian ini, para ahli berdebat apakah kemunculan Omicron bisa mempercepat “akhir pandemi”. Sebab, cepatnya peningkatan kasus juga diikuti penurunan yang cepat, sehingga imunitas populasi juga turut meningkat dalam jangka pendek.
Akan tetapi, tren yang cenderung tidak tetap antarnegara-negara membuat dampak pasti Omicron tidak bisa disimpulkan.
Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan sendiri menyaksikan dampak parah di tengah gelombang Omicron.
AS mencatatkan tingkat rawat inap yang tetap tinggi selama Omicron. Sedangkan Korea Selatan justru mencatatkan angka kematian harian tertinggi selama gelombang Omicron, yakni 112 kematian pada 26 Februari lalu.
Mengenai data wabah yang berbeda-beda tiap negara, Nadia menyebut pihaknya berfokus pada data dalam negeri, yang mana sejauh ini gelombang Omicron masih bisa dikendalikan dengan tingkat keterisian tempat tidur RS di bawah 60%, yakni 37,69% per 26 Februari.
Baca Juga: Serupa tapi Tak Sama! Mengenal 3 Perbedaan Pusing Biasa dan Sakit Kepala akibat Covid-19 Omicron
Data wabah pada gelombang ketiga sendiri disebut cukup positif untuk menyiapkan transisi pandemi ke endemi. “Kondisi peningkatan kasus banyak, tetapi jumlah kematian dan BOR (tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit) terkendali,” kata Nadia.
"Kita tidak usah melihat data (negara) lain, kita melihat data kita sendiri,” ujarnya.
Pemerintah menyebut vaksinasi merupakan salah satu pendorong utama untuk mempercepat transisi ke endemi. Nadia mengungkapkan, target pemerintah sebelum memulai transisi adalah memvaksinasi 70% populasi.
Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan rampung memvaksinasi 70% populasi pada Juni 2022 mendatang.
Selain itu, pemberian vaksinasi booster khususnya ke populasi lansia juga dipercepat. Per 22 Februari lalu, Kementerian Kesehatan memutuskan pemberian dosis booster untuk lansia bisa dilakukan 3 bulan setelah dosis kedua. Sebelumnya, jangka waktunya adalah 6 bulan.
Baca Juga: Pemerintah Tambah Regimen Baru Vaksin Booster, Kini Ada 6 Jenis, Apa Saja?
Kelompok lansia dan orang dengan komorbid (penyakit penyerta) menghadapi risiko tertinggi dari Covid-19. Berdasarkan data yang diambil selama gelombang Omicron sejak 21 Januari hingga 19 Februari, risiko kematian lansia dan komorbid masing-masing 3,84 kali dan 3,53 kali lebih tinggi dibanding pasien non-lansia dan tanpa komorbid.
Nadia sendiri menyebut vaksin booster efektif menurunkan risiko kematian hingga 91%. Sedangkan vaksinasi lengkap menurunkan risiko hingga 67%. Namun, ia tak menampik bahwa penerima vaksin, baik lengkap atau booster, masih berisiko terinfeksi.
Menurutnya, penerima vaksin lengkap mendapatkan perlindungan 70% dari infeksi Covid-19. Sedangkan vaksin booster diperkirakan lebih tinggi.
Masih ada peluang terinfeksi, tetapi imunitas vaksin efektif mencegah gejala berat, kebanyakan kasus positif menunjukkan gejala ringan atau tanpa gejala.
Saat ini, menurut Nadia, terdapat 189.714 pasien Covid-19 yang dirawat inap. Sebanyak 33.425 belum divaksin, 25.640 baru satu dosis, sedangkan lainnya sudah divaksin lengkap.
Nadia menyampaikan, adanya penerima vaksin kedua atau booster yang dirawat inap dikarenakan komorbidnya tidak terkontrol.
"Cakupan vaksinasi tinggi akan mengendalikan laju penularan, dan adanya kekebalan kelompok, itu semua secara simultan, ya,” kata Nadia.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Vaksin Booster Lansia Tuntas Sebelum Ramadhan
Di lain sisi, kebijakan pembatasan dan protokol kesehatan masih harus diberlakukan menjelang transisi ke endemi.
Miko menyebut tidak cukup kampanye vaksinasi saja untuk mengendalikan wabah. “Imunisasi itu salah satu strategi, semua baik itu protokol kesehatan, vaksinasi, dan komunikasi tetap harus dilakukan,” katanya.
Nadia menegaskan, di samping menggencarkan vaksinasi, pihaknya akan memonitor laju penularan dan indikator-indikator yang ditunjukkan dalam level PPKM selama enam bulan.
"Yang pertama adalah mengendalikan dulu, ya. Artinya bagaimanan nanti itu laju penularan (reproductive number) terus-menerus di bawah angka 1 selama enam bulan. Kemudian indikator-indikator seperti fatalitas itu kita perhatikan, lalu secara nasional dan di provinsi-provinsi PPKM tetap level 1 minimal selama enam bulan. Itu artinya pandemi ini terkendali,” katanya.
Para ahli bersepakat bahwa Covid-19 tidak akan bisa dilenyapkan dari dunia dalam waktu dekat ini. Namun, status endemi menandakan bahwa penyakit bisa dikendalikan, dan berpeluang merebak dalam wilayah atau musim tertentu, seperti flu biasa atau demam berdarah.
Baca Juga: WHO: Omicron Subvarian BA.2 Tidak Lebih Parah dari BA.1, tapi Bisa Infeksi Manusia 2 Kali
Selain itu, varian baru Covid-19 diprediksi akan terus bermunculan. Mutasi sendiri adalah cara alami virus bertahan hidup.
Kendati populasi memiliki imunitas dan kampanye vaksinasi dilakukan, Miko menyebut varian baru tetap akan bermunculan. Jika bicara mengenai transisi Covid-19 ke endemi, ia menegaskan varian baru wajib diperhatikan. “Harus dilihati itu perkembangan varian-varian (Covid-19),” kata Miko.
Mengenai mutasi Covid-19, Nadia menyebut deteksi kasus dan surveilans harus dilakukan untuk memonitor varian baru. Selain itu, cakupan vaksinasi yang tinggi juga diperlukan.
Kendati Covid-19 akan terus bermutasi, Nadia menyebut sebagian besar tidak perlu dikhawatirkan. Menurutnya, hanya sekitar 3-5% dari varian baru virus yang bisa berdampak signifikan.
Baca Juga: Kapan Boleh Terima Vaksin Booster Setelah Positif Covid-19?
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.