Kebijakan ini diatur melalui Peraturan Gubernur No. 33 Tahun 2020 yang berlaku sejak 10 April 2020. PSBB yang mulanya diberlakukan hanya sampai 23 April 2020 terus mengalami perpanjangan karena angka kasus yang terus meningkat.
PSBB di Jakarta kemudian berakhir pada 2 Juli 2020 yang kemudian digantikan PSBB Transisi. Perubahan kebijakan ini dilakukan guna merespons penurunan aktivitas ekonomi akibat pemberlakuan PSBB. Saat PSBB transisi, terjadi banyak pelonggaran aktivitas masyarakat, perkantoran, pusat perbelanjaan hingga ibadah.
Namun, akibat kondisi yang semakin memburuk, pemerintah kembali menerapkan PSBB secara ketat pada September 2020. Pemerintah kembali memberlakukan PSBB Transisi pada Oktober 2020 hingga Januari 2021 setelah kondisi dinilai membaik.
Menurut Dicky, kelemahan sistem PSBB ialah beban diserahkan kepada daerah, padahal kemampuan mereka berbeda-beda baik dari segi finansial, sumber daya manusia, hingga infrastruktur.
“PSBB itu masing-masing, dulu-duluan bahkan, terkesan tidak terkoordinasi. Ini yang membuat respons tidak kuat, karena respon pandemi kan seharusnya merata,” kata Dicky.
Kondisi pandemi di Indonesia kian memburuk setelah muncul varian Delta. Pemerintah lantas menerapkan sistem baru, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga Februari 2021.
Kemudian dilanjutkan PPKM Mikro yang menyasar wilayah lebih kecil seperti RT RW dan membagi wilayah menjadi empat zona berwarna, yaitu hijau, kuning, oranye, dan merah. PPKM Mikro efektif berlaku sejak 9 Februari 2021 hingga 25 Juli 2021.
Rem darurat terpaksa ditarik ketika lonjakan kasus kian tak terkendali. Pemerintah memberlakukan PPKM Darurat pada 3 Juli 2021 hingga 25 Juli 2021.
Setelahnya, pemerintah memperkenalkan sistem PPKM Level 1 sampai 4 sesuai dengan asesmen wilayah masing-masing. Kebijakan PPKM Level efektif sejak 26 Juli 2021 hingga saat ini.
Saat kebijakan berubah menjadi PPKM, kewenangan penentuan pembatasan diatur oleh pemerintah pusat. Dicky menilai kebijakan ini lebih efektif dibanding PSBB.
“Secara umum lebih efektif dibanding PSBB karena lebih terkoordinir, jadi setara merata terus bisa memberi solusi pada ketimpangan kemampuan daerah karena dibantu pusat,” kata dia.
Menurut Dicky, efektivitas PPKM nyata sewaktu varian Delta menyerang. PPKM, kata dia, membantu mengantisipasi skenario terburuk. Tetapi, kelemahan dari PPKM ialah lambatnya pusat mengambil inisiatif pembatasan.
Contohnya saat pengambilan keputusan PPKM darurat yang baru ditetapkan 3 Juli saat kasus harian sudah mencapai 27.913 kasus per harinya sementara Jakarta sudah mencatat kasus harian lebih dari 9.000 per hari.
Daerah Luar Jawa Masih Rentan
Banyaknya peningkatan penanganan yang terjadi selama dua tahun bukan berarti pemerintah sudah tidak memiliki catatan. Salah satunya, kata Dicky, ialah kerentanan daerah luar Jawa.
“Di luar Jawa ini saya tidak melihat gerakan yang signifikan seperti di Jawa, yang rawan itu kan malah di luar Jawa, seperti infrastruktur, SDM, bahkan kondisi masyarakat itu sendiri, kemiskinan, kurang gizi, kesehatan secara umum,” kata dia.
Dia mengkritik pemerintah yang terlalu terkonsentasi di daerah urban dan aglomerasi. Ia mengakui bahwa strategi untuk wilayah Jawa sudah cukup baik, namun, hal ini menyebabkan perhatian ke luar Jawa menjadi minim.
“Dengan fokus di urban itu, walaupun pemerintah ada alibi seperti jumlah penduduk lebih banyak, tapi kelamaan,” kata dia.
Dicky mengingatkan bahwa Omicron yang saat ini sedang menyerang Indonesia bukanlah gelombang terakhir. Karena itu pemerintah harus memperbaiki ini. Jika tidak diperbaiki, hal ini dapat menimbulkan ketimpangan yang semakin parah dan masalah-masalah lainnya.
Kebijakan yang Cepat Berubah
Selain itu, Dicky turut mengomentari soal kebijakan yang cepat berubah. Menurut dia, memang betul situasi pandemi penuh dengan ketidakpastian, namun, perubahan kebijakan sebaiknya tidak dilakukan terlalu cepat.
“Betul bahwa situasi pandemic ini emang ada ketidakpastian, dan itu akhirnya membuat negara tidak bisa membuat kebijakan yang sudah pakem, pasti ada perubahannya tapi jangan cepat-cepat,” kata dia.
Perubahan yang dilakukan dalam hitungan hari akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan pada masyarakat banyak. Ia meminta agar pemerintah sgeera memperbaiki hal ini.
“Timbul prasangka ini basisnya kepentingan politik dan ekonomi bukan data dan sains,” kata dia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.