Lebih jauh Eddy juga menjelaskan soal harta yang tidak cukup untuk membayar restitusi yang telah ditentukan.
Menurutnya, kekurangan restitusi itu akan tetap dibayarkan oleh pelaku melalui pidana penjara subsider.
"Kalau misalnya sita jaminannya tidak cukup untuk biaya restitusi, maka itu diperhitungkan untuk hukuman subsider. Misalnya begini, restitusi itu untuk pemulihan korban ditentukan Rp 50 juta, hartanya setelah disita, dilelang cuma dapat Rp 30 juta kan berarti kurang Rp 20 juta nah Rp 20 juta ini diganti dengan pidana penjara," terang Eddy.
Wamenkumham pun memastikan bahwa RUU TPKS tidak akan tumpang tindih dengan undang-undang lain.
Eddy mengatakan, pemerintah telah menyandingkan aturan yang ada di RUU TPKS dengan berbagai aturan yang telah ada sebelumnya.
Sebelumnya, Eddy juga mengatakan dalam penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual tidak boleh menggunakan pendekatan restorative justice atau keadilan restorasi.
Hal itu sebagaimana jelas tertuang dan diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Ini sama sekali tidak boleh menggunakan restorative justice," kata Wamenkumham seperti dilansir Antara, Selasa (22/2/2022).
Adapun alasannya, kata dia, kerap kali kasus kekerasan seksual yang terjadi pelakunya menggunakan uang sebagai solusi damai dengan pihak korban.
Oleh karena itu, dalam RUU TPKS disebutkan bahwa selain pidana penjara atau pidana denda, hakim wajib menetapkan besarnya jumlah restitusi kepada korban.
Baca Juga: Kejati Jabar Banding Soal Restitusi Rp331 Juta Kasus Herry Wirawan yang Dibebankan ke Negara
Sumber : Kompas.com/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.