JAKARTA, KOMPAS.TV - Pihak Amnesty International Indonesia mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung yang menjatuhkan vonis seumur hidup terhadap terdakwa Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati yang merupakan anak didiknya.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena menilai vonis tersebut sudah setimpal dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
Sehingga tidak perlu lagi mendorong agar Herry mendapat hukuman mati.
Wirya menjelaskan, tidak setujunya Amnesty International Indonesia terhadap hukuman mati bukan bermaksud membela Herry Wirawan.
Baca Juga: Komnas PA Mengaku Kecewa Atas Putusan Hakim Soal Vonis Herry Wirawan
Namun, ada aspek keadilan lain yang paling utama kepada para korban. yakni pemenuhan masa depan dan perlindugan korban.
Menurut Wirya, pemulihan hak dan perlindungan korban menjadi keadilan utama yang harus dikedepankan.
Jika hakim menyatakan vonis mati, namun pemulihan hak dan perlindungan hak korban tidak menjadi pertimbangan maka hal tersebut jauh dari keadilan.
"Kami menggaungkan kembali pentingnya UU yang mengatur pemenuhan hak korban secara komprehensif. Hak pemulihan dan restitusi atau ganti rugi perlu benar-benar diatur agar kita bisa memberikan masa depan yang lebih baik bagi masa depan korban," ujarnya saat wawancara live bersama KOMPAS TV di program Kompas Petang, Selasa (15/2/2022).
Baca Juga: Hukuman Mati Buat Herry Wirawan Dianggap Pelanggaran HAM, Bagaimana Penilaian Komnas PA?
Lebih lanjut Wirya menjelaskan, hukuman mati tidak serta merta membuat efek jera untuk seseorang tidak melakukan tindak kejahatan.
Amnesty International Indonesia juga menilai penghukuman satu kasus tidak akan mengubah kedaruratan kekerasan seksual yang ada di Indonesia.
Untuk itu kasus Herry Wirawan menjadi sebuah dorongan betapa pentingnya Undang-Undang yang memastikan perlindungan korban kekerasan seksual.
Baca Juga: Herry Wirawan Divonis Penjara Seumur Hidup, Pimpinan Komisi III: Saya Minta Jaksa Ajukan Banding
Jangan sampai suatu hari nanti masyarakat yang ingin melaporkan kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual dimentahkan karena tidak mendapat payung hukum.
"Kami setuju dengan publik kasus kekerasan seksual tidak lagi terjadi, nah yang diperlukan untuk itu adalah akuntabilitas, pelindungan hukum yang lebih jelas," ujar Wirya.
"Kita semua kembali mendorong perlindungan yang komprehensif terhadap kekerasan seksual di Indonesia. Mari kita fokuskan perhatian kita pada pemenuhan hak-hak korban, jangan sampai nanti ada kasus yang sama hak-hak korban tidak dipenuhi," imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan, majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis pidana penjara seumur hidup terhadap terdakwa Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati yang merupakan anak didiknya.
Baca Juga: Jejak Kasus Herry Wirawan, Pemerkosa Santri Terancam Hukuman Mati
Selain itu, majelis hakim juga memutuskan biaya restitusi atau ganti rugi terhadap para korban pemerkosaan Herry Wirawan dibebankan kepada negara.
Dalam hal ini, hakim menyebut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Pertimbangan hakim yang membebaskan Herry Wirawan dari restitusi karena telah mendapat vonis hukuman seumur hidup.
Hal itu Berdasarkan Pasal 67 KUHP, terpidana mati atau terpidana seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pidana lain.
Baca Juga: BREAKING NEWS - Apakah Hukuman Mati dan Kebiri Sudah Bisa Dikatakan Adil?
Adapun vonis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU.
JPU Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menuntut Herry Wirawan dengan hukuman mati serta hukuman pidana tambahan berupa pengumuman identitas dan kebiri kimia.
Kemudian Herry Wirawan juga dituntut hukuman denda Rp500 juta dan restitusi kepada korban Rp331 juta, pembubaran yayasan pesantren termasuk Madani Boarding School, dan penyitaan aset dan barang bukti untuk dilelang.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.