“Misalnya tidak diberi upah, jam kerja lebih dari 18 jam, pembatasan akses ke luar rumah, dihambat untuk berkomunikasi, bersosialisasi, berserikat dan rentan kekerasan dalam rumah tangga dan eksploitasi.”
Saat ini RUU PPRT masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2022 dan masih menunggu proses pengesahan menjadi RUU Inisiatif DPR.
Sejak 2004, menurut Komnas Perempuan, RUU PPRT terus mengalami pro dan kontra baik dalam hal perspektif maupun substantif.
Bahkan, hingga saat ini masih ada anggapan terutama di kalangan pembuat kebijakan bahwa RUU PPRT masih dianggap belum mendesak.
Sebab, jumlah PRT dipandang sedikit, serta status sosial mereka dianggap kurang signifikan.
Baca Juga: Komnas Perempuan: Jika Korban KDRT Mengadu, Itu Tandanya Dia Sudah Tidak Tahan dengan Kondisinya
“RUU PPRT bahkan dianggap dapat menganggu tatanan sosial dan budaya yang ada di masyarakat.”
“Pandangan ini kemudian diperparah dengan salah kaprah dan informasi keliru terkait isi dari RUU PPRT yang justru memojokkan PRT,” tambah Komnas Perempuan.
Pada tahun 2016, ILO memperkirakan jumlah PRT di Indonesia pada 2015 berjumlah 4,2 juta dan mayoritas adalah perempuan.
Sama halnya dengan 9 juta PRT migran Indonesia di luar negeri yang 60%-70%nya adalah perempuan (Bank Dunia, 2017).
Komnas Perempuan berpendapat, situasi PRT ini semakin buruk dan potensial melahirkan kemiskinan berwajah perempuan, saat pandemi Covid-19 melanda.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.