JAKARTA, KOMPAS.TV - Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan perkembangan kasus korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tahun 2015-2021.
Jaksa Agung mengungkapkan, ditemukan ada dua unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan baik dari unsur TNI maupun sipil dalam perkara tersebut.
Baca Juga: Kasus Satelit Orbit Kemhan Ditangani Secara Koneksitas, Jaksa Agung: Segera Tetapkan Tersangka
Hal itu diketahui setelah dilakukan gelar perkara hari ini di Gedung Bundar Kejaksaan Agung RI, Jakarta, sejak pukul 9.30 sampai 13.00 WIB.
Gelar perkara tersebut turut dihadiri Jampidsus berserta jajaran, serta tim penyidik Jampidmil, jajaran POM TNI, Babinkum TNI, serta Kemenhan.
“Berdasarkan hasil materi paparan tim penyidik disimpulkan terdapat dua unsur tindak pidana korupsi yang diduga ada keterlibatan dari unsur TNI dan sipil,” kata Burhanuddin dalam konferensi persnya pada Senin (14/2/2022).
Atas dasar itulah, Burhanuddin mengatakan bahwa kasus dugaan korupsi pengadaan satelit di Kemenhan itu akan ditangani secara koneksitas.
Baca Juga: Pengamat: Jaksa Agung ST Burhanuddin Perlemah Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi
Untuk penegakan hukum yang melibatkan TNI, Burhanuddin memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (Jampidmil) untuk segera koordinasi dengan Pusat Polisi Militer (POM) TNI dan Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI untuk membentuk tim koneksitas.
“Dan diharapkan tim penyidik koneksitas segera dapat menetapkan tersangkanya,” ucap Jaksa Agung.
Sebelumnya, Kejagung sudah memeriksa mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkomifo) RI Periode 2014-2019, Rudiantara, dalam kasus ini pada Jumat (11/2/2022).
Selain itu, tiga jenderal purnawirawan TNI juga telah diperiksa pada Senin (7/1/2022), yakni mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemenhan RI Laksamana Madya TNI (Purn) AP.
Baca Juga: Jaksa Agung Marah ke Anak Buahnya: Jangan Lagi Ada yang Ngemis-Ngemis Proyek, Ingat Itu!
Lalu, mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan RI Laksamana Muda TNI (Purn) inisial L dan mantan Kepala Pusat Pengadaan pada Badan Sarana Pertahanan Kemenhan RI Laksamana Pertama TNI (Purn) inisial L.
Selain itu, ada sejumlah saksi, termasuk dari PT DNK, PT LEN, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Kejagung juga telah menggeledah tiga lokasi. Rinciannya, dua kantor PT DNK dan satu apartemen Direktur Utama PT DNK atau tim ahli Kemenhan berinisial SW.
Penggeledahan yang dilakukan pada Selasa (18/1/2022) itu juga menyita sejumlah barang bukti terkait pengadaan orbit satelit tersebut.
Baca Juga: Respons Tegas Pimpinan KPK Soal Jaksa Agung yang Minta Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tak Dihukum
Adapun kasus ini mencuat berawal dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Mahfud membeberkan adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan).
"Dugaan pelanggaran terkait proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) pada tahun 2015," kata Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Mahfud menjelaskan, awalnya pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Baca Juga: Jaksa Agung Minta Kasus Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tak Perlu Diproses Hukum, Ini Syaratnya
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit tersebut.
Apabila tidak dipenuhi, maka hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, kata Mahfud, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lalu memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Permintaan itu yakni mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Baca Juga: Ryamizard Buka Suara Soal Satelit Kemhan, Mengaku Diperintah Presiden Selamatkan Orbit 123 BT
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater atau satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication Limited (Avanti) pada 6 Desember 2015.
Meskipun, persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo itu baru diterbitkan pada 29 Januari 2016.
Namun, pihak Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.
Lalu, pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).
Baca Juga: Panglima TNI Andika Perkasa Ungkap ada Indikasi Awal Prajurit TNI Terlibat Proyek Satelit Kemhan
Namun ternyata, PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.
Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," tuturnya.
Untuk membangun Satkomhan, kata Mahfud, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya juga belum tersedia.
Sedangkan pada 2016, anggaran telah tersedia, namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.
Baca Juga: Kader Tersangka Teroris, Partai Ummat Beri Bantuan Hukum
Kemudian, Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
"Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar," ujarnya.
Selain itu, kata Mahfud, pemerintah juga menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo. Putusan itu menyatakan pemerintah diharuskan membayar USD20,9 juta.
"Yang USD20 juta ini nilainya mencapai Rp304 miliar," ujarnya.
Baca Juga: Viral Awan Hitam seperti Ombak di Langit Pelabuhan Merak, Ini Penjelasan BMKG
Mahfud pun memperkirakan angka kerugian ini akan bertambah besar karena masih ada perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan dan belum mengajukan gugatan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.