JAKARTA, KOMPAS.TV – Kekuatan pokok minimum atau minimum essential force (MEF) Indonesia pada tahun 2019 berada di angka 68 persen. Sementara, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto merencanakan MEF mencapai 100 persen pada 2024.
Penjelasan itu disampaikan oleh pengamat pertahanan yang juga merupakan Koordinator Lab 45, Andi Widjajanto, dalam Sapa Indonesia Akhir Pekan Kompas TV, Sabtu (12/2/2022).
“Yang menarik dari perencanaan Pak Prabowo di Renstra (Rencana Strategis) 2020 sampai 2024, Pak Prabowo menginginkan agar kondisi pemeliharaan, perawatan, untuk semua alutsista termasuk pesawat tempur itu 100 persen,” urainya.
Andi menjelaskan, pada tahun 2019 kondisi MEF Indonesia berada di angka 68 persen, sehingga untuk mencapai 100 persen pada 2024, Indonesia harus mengejar 32 persen lagi.
Baca Juga: Indonesia Punya 41 Pesawat Tempur, Tapi Pengamat Bilang yang Siap Operasi Hanya Belasan
Masalah utamanya, lanjut Andi, adalah asumsi-asumsi ekonomi makro untuk mencapai MEF tidak pernah terpenuhi.
Asumsi pertama yang juga paling dasar, kata dia, adalah pencapaian MEF 2024 didasari dengan keyakinan bahwa alokasi anggaran pertahanan akan meningkat dari 0,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 1,5 persen dari PDB pada 2023-2024.
“Tapi, sampai hari ini kita tetap berkisar 0,7 hingga 0,8 persen dari PDB.”
“Lalu, misalnya lagi pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan di angka enam sampai tujuh persen, kita tidak pernah mencapai itu dari akhir masa Pak SBY sampai periode kedua dari Pak Jokowi,” tuturnya.
Ditambah lagi dengan adanya pandemi Covid-19, menyebabkan Indonesia harus melakukan realokasi anggaran cukup signifikan pada 2020 hingga 2022.
“Jadi, yang bisa dilakukan Pak Prabowo, berdasarkan arahan Pak Jokowi adalah mencari terobosan anggaran pertahanan.”
Kata kuncinya, menurut Andi, adalah dari belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan.
Dia berpendapat, pembelian pesawat tempur Rafale memiliki unsur investasi, yakni berupa transfer teknologi, fasilitas perawatan di dalam negeri dan seterusnya.
Yang coba dilakukan oleh Prabowo saat ini, menurutnya, langsung merancang kesinambungan ke Renstra berikutnya, yaitu Renstra 2024.
“Jadi, kalau sekarang ada kontrak enam Rafale, itu memang akan dibiayai dengan Renstra 2020-2024 yang totalnya sudah tersedia mungkin 20 billion (miliar) USD di Bappenas.”
“Jadi, masih ada perencanaan sekitar 55 billion (miliar) USD yang mungkin harus menjadi komitmen untuk dimasukkan ke Renstra setelah 2024 mungkin sampai 2044,” tuturnya.
Oleh karena itu, menurut Andi, sebaiknya ada kesinambungan dalam pengadaan alutsista tersebut. Karena ini harus dilihat sebagai kesepakatan antarnegara, kesepakatan institusional, siapa pun presidennya, siapa pun menteri pertahanannya.
“Bisa saja Pak Jokowi dan Pak Prabowo untuk memastikan kesinambungan perencanaan, toh ini juga berdasarkan kebutuhan operasional dari masing-masing angkatan, merancang agar Renstra 2020-2024 ada keberlanjutannya.”
Sementara anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono mengatakan, harus dibuat perjanjian jangka panjang terkait pengawasan pembelian alutsista ini.
Baca Juga: Anggota Komisi I DPR Sebut Kebutuhan Pesawat Tempur Indonesia Sudah Sangat Urgen, Tapi...
Sehingga, siapa pun pemerintahan berikutnya, harus meneruskan perjanjian kerja sama berupa pengadaan alat pertahanan ini.
“Kalau misalnya nanti tiba-tiba terjadi perubahan politik lagi, itu bisa mengganggu diplomasi kita dengan negara lain, juga bisa merendahkan martabat kita, dianggap sebagai negara yang tidak commit (berkomitmen) kepada perjanjiannya.”
“Jadi bisa dikunci dalam bentuk undang-undang atau dalam perjanjian lainnya. Yang harus dipastikan adalah ini harus berkesinambungan dan jangan sampai putus di tengah jalan,” ungkapnya.
Dave menambahkan, pihaknya akan mengawasi hal ini dan memastikan persiapan pilot dan infrastruktur pendukungnya dilakukan secara berkepanjangan.
“Kunci yang paling gampang dalam bentuk undang-undang, sehingga siapa pun pemerintah yang berikutnya, harus patuh pada undang-undang tersebut,” tegasnya.
Meski demikian, Dave berharap agar pembelian pesawat tempur itu jangan sampai hanya untuk mengejar target MEF, tapi akhirnya banyak hal lain yang tidak terpenuhi.
“Kita kan sedang proses pembangunan ibu kota negara baru, yang memakan dana sangat besar, sampai ratusan triliun, lalu penanganan pandemi juga belum selesai.”
“Banyak hal yang membutuhkan biaya dan tenaga dari negara yang juga harus diperhatikan dengan saksama,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.