JAKARTA, KOMPAS.TV - Putri tertua Gus Dur, Alissa Qotrunnada Wahid mengatakan saat ini di media sosial terdapat perang narasi terkait Islam. Narasi-narasi juga kerap saling bertentangan satu sama lain.
Ketua PBNU perempuan pertama dalam sejarah itu lantas menjelaskan, paling tidak ada dua narasi besar yang berusaha saling mendominasi dan berebut pengaruh.
Narasi-narasi tersebut berusaha ingin memenangi pertarungan wacana dan pengaruh di digital.
Hal itu diungkapkan Alissa Wahid dalam dialog international Builiding International Cooperation to Reinforce Commitment and Practices of Islam Rahmatan Lil Alamin yang digelar INFID Kerjasama Muhammadiyah dan PBNU, Rabu sore (27/1).
“Narasi besarnya adalah dunia terbagi atas muslim dan non-muslim. Demokrasi (dalam narasi itu) katanya diciptakan non-muslim untuk menghancurkan islam,” katanya dalam dialog itu seperti diikuti KOMPAS TV secara daring.
Padahal, kata Alissa, demokrasi tidak sesederhana itu. Tapi itulah narasi yang berkembang di media sosial dan cenderung untuk menegaskan identitas tertentu.
Lantas, papar Alissa, dalam perang narasi tersebut juga mengatakan terkait Islam murni dan tidak murni.
“Ini salah satunya yang juga melahirkan politik Identitas,” katanya.
Baca Juga: Alissa Wahid Sebut Generasi Z di Indonesia Nilai Agama itu Penting, Ini Alasannya
Koordinator Jaringan GUSDURian itu lantas memaparkan terkait praktik beragamaan yang juga terbagi menjadi dua hal yang bertentangan secara narasi.
“Terdapat 2 paradigma praktik keberagamaan. Pertama, praktek beragama yang substantif-inklusif. Kedua, Praktek beragama yang eksklusif-legal formalistic yang cenderung lebih keras memahami teks agama,” ujarnya.
Alissa Wahid lantas memaparkan, hal ini harus dipahami sebab bisa jadi masa depan dunia Islam terkait dengan narasi-narasi yang berkembang ini.
Baca Juga: Alissa Wahid Respons Pendukung Perusak Sesajen: Lupa, Hormati Hak Orang Lain Juga Perintah Agama
Alissa lantas mengutip teori Psikolog Sosial Jonathan Haidt terkait moral foundation untuk memahami fenomena perang narasi Islam di digital ini.
Ia mencontohkan narasi tersebut, misalnya, soal 1 dari 6 fondasi moral Jonathan Haidt, yakni terkait Caring dan Harming yang berbeda ketika berubah jadi narasi di media sosial.
“Contohnya adalah teori Caring vs Harming. Narasinya ‘Kita harus membela orang Muslim di Palestina vs anak-anak tidak boleh bergaul dengan yang berbeda agama’ kira-kira seperti itu,” ujar dia.
Baca Juga: Alissa Wahid & Badriyah Fayumi Masuk dalam Jajaran Pengurus PBNU, Apa Kata Mereka? | Rosi
Alissa Wahid lantas memaparkan, di media sosial harus mendukung gerakan konten Islam yang moderat.
“Kalau ditanya, Apa yang harus dilakukan? Membangun narasi efektif. Kita harus memastikan konten, strategi Islam Rahmatan lil alamin dan memperbanyaknya di media sosial,” tambanhnya.
Ia pun mencontohkan soal konten yang efektif untuk Islam Rahmatan lil alamin itu adalah kisah dari keberanian Banser Riyanto yang wafat saat menjaga geraja dari bom.
“Contoh konten narasi viral yang bisa jadi representasi Islam ramah adalah kisah mengharukan Banser Ryanto yang memeluk bom, diterima pelbagai pihak,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.