JAKARTA, KOMPAS.TV - Panitia khusus (Pansus) rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negera (RUU IKN) DPR mengingatkan Indonesia sudah tidak menggunakan mekanisme referendum dalam menyelesaikan perdebatan atau konflik.
Termasuk dalam menentukan pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Permintaan adanya referendum ini dilontarkan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.
Menurutnya, referendum diperlukan untuk meminta persetujuan masyarakat terkait rencana pemerintah memindahkan ibu kota ke Kaltim.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS itu juga menilai, referendum menjadi jawaban dari janji Presiden Jokowi yang akan meminta izin masyarakat soal rencana pemindahan ibu kota.
Baca Juga: Soal Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kaltim, PKS Minta Ada Referendum
Hidayat menjelaskan, pernyataan itu disampaikan Presiden Jokowi dalam forum kenegaraan di sidang MPR 2019 silam.
Anggota Pansus RUU IKN, Achmad Baidowi menjelaskan, mekanisme referendum sudah tidak berlaku dalam aturan hukum di Indonesia.
Adapun aturan referendum dalam Ketetapan MPR Nomor 4 Tahun 1983 tentang Referendum sudah dicabut dengan adanya TAP MPR Nomor 8 Tahun 1998.
Kemudian peraturan turunannya, yakni UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum telah dicabut melalui penerbitan UU Nomor 6 Tahun 1999.
UU tersebut disahkah oleh Presiden BJ Habibie pada 23 Maret 1999.
Baca Juga: PKS: Ada Banyak Kelompok Masyarakat yang Tolak Pemindahan Ibu Kota Negara
Anggota DPR dari Fraksi PPP itu juga menjelaskan, permintaan izin berbeda dengan persetujuan.
Jika menyinggung terkait persetujuan ada delapan fraksi di DPR dan DPD sudah setuju RUU IKN menjadi UU IKN.
Artinya DPR dan DPD sebagai wakil rakyat sudah setuju dengan rencana pemerintah untuk memindahkan dengan membuat aturan UU terkait ibu kota negara yang baru.
"Kalau disebut masyarakat Kaltim menolak kami berkunjung ke sana, ada 100 lebih elemen masyarakat termasuk kesultanan di sana, termasuk Pemda tidak ada masalah," ujar Baidowi di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Rabu (19/1/2021).
"Jadi meminta izin berbeda dengan meminta persetujuan. Kalau mekanisme referendum itu sudah dicabut, soal pro kontra itu hal yang wajar," imbuhnya.
Baca Juga: Suharso Monoarfa Sebut UU IKN Bisa Direvisi Jika Kekuatan Politik Berubah, Tapi Tak Sesederhana Itu
Lebih lanjut Baidowi juga menjawab kekhawatiran UU IKN bakal bernasib sama seperti UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya seluruh tahapan dan syarat formil dalam pembahasan RUU IKN telah sesuai dengan aturan perundang-udangan.
Semisal mengundang partisipasi publik dari elemen masyarakat, pemangku adat hingga kesultanan di Kaltim.
Kemudian mengundang ahli, pakar hukum terkait norma dalam UU tersebut serta uji publik di kampus.
Baca Juga: PKS Singgung Pernyataan Jokowi Soal Minta Izin Rakyat buat Pindah Ibu Kota Negara
Tak hanya itu dalam setiap kesempatan Pansus selalu mengingatkan agar RUU IKN ini tidak seperti UU Cipta Kerja yang digugat ke MK dan akhirnya diputuskan inkonstitusional bersyarat.
"Kita sudah tekankan cacat formil prespektif MK dalam putusan UU Cipta Kerja jangan terulang di UU IKN. Meski Panja sudah merasa tidak cacat hukum, kalau nanti ada gugatan MK memutuskan yang lain itu kewenangan MK," ujar Baidowi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.