Namun untuk membicarakan secara terbuka mengenai pendidikan seksualitas, seringkali terhambat dengan budaya patriarki dalam masyarakat. Pendidikan seks justru secara keliru kerap dianggap sebagai pemakluman perilaku seks bebas.
Komnas Perempuan mencatat, kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali lipat, yaitu mencapai 4.500 kasus hingga September 2021.
Sementara pada kasus anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) mengungkapkan hingga September 2021, terdapat 9.428 kasus kekerasan terhadap anak. Dari kasus-kasus yang terjadi, mayoritas tidak memberikan keadilan kepada korban.
Kemeterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindunan Anak mengakui masih lemahnya literasi mengenai kekerasan seksual.
Baca Juga: Komnas Perempuan Kecewa Penetapan RUU Kekerasan Seksual Ditunda, Ini 4 Pernyataan Sikapnya
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPA Nahar mengakui juga soal kekurangan petugas penyuluhan yang dapat memberikan edukasi mengenai kekerasan seksual. Padahal penyuluhan kepada masyarakat diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan sehingga meningkatkan pencegahan kekerasan seksual.
Dia juga menyoroti mengenai pemahaman penegak hukum soal kekerasan seksual. Pemahaman yang baik dari aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim, dapat menjadi kunci penyelesaian kasus kekerasan seksual yang benar-benar memberikan keadilan kepada korban.
“Pemahaman penyidik, penuntut, dan hakim. Ini menjadi sangat kunci persoalan. Penyidikan apa ini masuk kategori persetubuhan akan beda hasil akhirnya,” urainya.
Sementara Wakil Ketua Komisi 8 DPR RI Diah Pitaloka menyebut perjuangan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk menjadi undang-undang, belum berhasil dilakukan di 2021.
Dia mengatakan pada 2022 mendatang RUU TPKS akan kembali dia perjuangkan dan memasukannya sebagai RUU inisiatif DPR.
Menurutnya perjalanan memperjuangkan RUU tersebut sejak 2015 tidak mudah. Dia mengaku di DPR sendiri tidak kedap dengan berbagai kepentingan. Kepentingan dan suara-suara tersebut merupakan refleksi keadaan sosial kultural masyarakat Indonesia.
“Jadi RUU inisatif saja harus bertempur. DPR juga tidak kedap. Refleksi sosio kultural kita,” ungkapnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.