Padahal kata Retno, apabila kasus kekerasan seksual di sekolah tidak pernah dilaporkan maka yang terjadi korbannya akan terus ada.
"Korban kekerasan seksual itu tidak mau melapor. Dan kalau guru yang menjadi pelaku, kan ada relasi kuasa. Padahal kalau dibiarkan dan tidak pernah diadukan maka korbannya akan terus ada," ujar Retno.
Perihal korban, Retno juga memaparkan bahwa korban kekerasan seksual di sekolah itu bisa terjadi pada siswa laki-laki ataupun siswi perempuan.
Berdasarkan data KPAI tahun 2018, kasus kekerasan seksual di sekolah paling banyak dialami oleh laki-laki. Adapun jumlahnya, sebanyak 122 orang adalah laki-laki dan 32 orang adalah perempuan.
Sementara itu, pada tahun 2019, KPAI mencatat korban kekerasan seksual yang terjadi di sekolah paling banyak dialami oleh siswi perempuan.
Adapun jumlah laporan yang KPAI terima, yaitu sebanyak 123 anak dengan rincian 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki.
Selain itu, KPAI juga mencatat bahwa kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan banyak terjadi di Sekolah Dasar (SD) yakni sebanyak 64,7 persen.
Sementara di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 23,53 persen. Sementara 11,77 persen terjadi di jenjang SMA.
Baca Juga: Puan Desak Pemerintah Segera Kirimkan Surpres RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Oleh karena itu, KPAI mendorong pihak sekolah untuk menghindari jalur mediasi apabila terjadi kekerasan seksual di lingkungannya. Terlebih kasus itu terjadi pada anak di bawah umur.
Retno menyatakan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa persetubuhan dengan anak merupakan tindak pidana.
"Jadi tidak dikenal suka sama suka atau mau sama mau (dalam kasus kekerasan seksual pada anak). Itu satu konsep yang harus dipahami oleh sekolah. Jadi seharusnya tidak ada mediasi dalam hal ini. Penyelesaian harus ke ranah hukum," pungkas dia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.