BANDUNG, KOMPAS.TV - Herry Wirawan (36), seorang guru yang juga pengurus yayasan Pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat, tengah mengundang amarah masyarakat karena ia memerkosa 13 anak didiknya hingga mengandung dan melahirkan anak.
Bahkan, diketahui ada yang melahirkan hingga dua kali.
Lebih rincinya, berikut beberapa fakta terkait kasus pemerkosaan dan tindakan asusila pengasuh pesantren di Bandung tersebut:
Santriwati korban pemerkosaan guru pesantren Herry Wiryawan atau HW di Kota Bandung, Jawa Barat kini bertambah.
Awalnya diberitakan, korban yang masih berada di rentang usia 13-16 tahun ada sebanyak 12. Kini bertambah satu orang, sehingga korban berjumlah 13 orang.
Selain itu, seperti laporan Nazla Afifa Jurnalis KompasTV, dua orang korban yang dinyatakan sedang mengandung kini dilaporkan sudah melahirkan.
"Sehingga sudah ada lebih dari 10 anak lahir akibat perilaku yang dilakukan HW," kata Nazla Afifa dikutip dalam program Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Jumat (10/12/2021).
Lebih lanjut, Nazla melaporkan sejak kasus pemerkosaan di pondok pesantren tersebut diketahui publik.
Sekolah yang berada di daerah Cibiru tersebut langsung ditutup dan tidak ada kegiatan apapun yang dilakukan.
Adapun saat ini, HW sedang proses persidangan untuk mendapatkan hukuman maksimal dari aparat penegak hukum.
Berdasarkan pantauan Jurnalis KompasTV, sidang perdana yang dilakukan pada Selasa (7/12/2021) di Pengadilan Negeri Kota Bandung dilakukan secara tertutup.
Hal ini dilakukan lantaran dalam persidangan yang dilakukan masih berkutat pada pemeriksaan saksi. Adapun saksi merupakan korban pemerkosaan yang umurnya masih dikategorikan anak-anak.
Baca Juga: Belajar dari Kasus Pemerkosaan Santriwati, Kemenag Diminta Perketat Pengawasan di Pesantren
Tak hanya kekerasan seksual, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia menduga adanya eksploitasi ekonomi dalam kasus pemerkosaan 12 santriwati di Bandung.
Oleh karena itu, LPSK mendorong Polda Jawa Barat (Jabar) mengungkap adanya eksploitasi ekonomi serta kejelasan aliran dana dalam kasus pencabulan 11 santriwati yang dilakukan oleh pengasuh pesatren tersebut.
"LPSK mendorong Polda Jabar juga dapat mengungkapkan dugaan penyalahgunaan, seperti eksploitasi ekonomi serta kejelasan perihal aliran dana yang dilakukan oleh pelaku dapat di proses lebih lanjut," Wakil Ketua LPSK RI Livia Istania DF Iskandar, dikutip dari Kompas.com, Kamis (9/12/2021).
Berdasarkan fakta di persidangan, lanjut Livia, terungkap bahwa anak-anak yang dilahirkan oleh para korban diakui sebagai anak yatim piatu dan dijadikan alat oleh pelaku untuk meminta dana kepada sejumlah pihak.
"Dan Program Indonesia Pintar (PIP) untuk para korban juga diambil pelaku. Salah satu saksi memberikan keterangan bahwa ponpes mendapatkan dana BOS yang penggunananya tidak jelas, serta para korban dipaksa dan dipekerjakan sebagai kuli bangunan sat membangun gedung pesantren di daerah Cibiru," ucapnya.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat (Jabar) menyelidiki dugaan adanya penggelapan dana bantuan siswa dari pemerintah oleh guru pesantren berinisial HW (36) untuk menyewa penginapan guna melakukan perbuatan asusila.
Kepala Kejati Jawa Barat Asep N Mulyana mengatakan dugaan tersebut didapat setelah pihaknya melakukan penyelidikan dan pengumpulan data.
"Kemudian juga terdakwa menggunakan dana, menyalahgunakan yang berasal dari bantuan pemerintah, untuk kemudian digunakan misalnya katakanlah menyewa apartemen," kata Asep dilansir dari Antara, Kamis.
Kini pihak Kejati Jabar masih fokus terhadap perkara HW yang tengah ditangani dan masuk ke ranah pidana umum. Sehingga dugaan penggelapan dana untuk asusila itu perlu didalami lebih lanjut.
"Di samping ada perkara pidum nanti akan melakukan pendalaman terkait itu," kata dia.
Baca Juga: P2TP2A Garut Berikan Pendampingan Psikologis untuk Sebelas Santriwati Korban Pemerkosaan
Dalam perkara tersebut, Asep memastikan pihaknya bakal menuntaskan kasus itu secara komprehensif. Sehingga tindakan kejahatan semacam itu dapat dicegah dan tidak terulang kembali.
"Ini untuk memastikan penanganan tuntas tidak sepotong-sepotong dan komprehensif," kata dia.
Adapun HW yang kini berstatus sebagai terdakwa karena telah memasuki proses peradilan, terancam hukuman 20 tahun penjara akibat perbuatannya.
Merespons perbuatan pengasuh pesantren tersebut, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengutuk dan meminta aparat penegak hukum untuk memberi hukuman berat kepada pelaku.
Kang Emil, begitu ia disapa, mengatakan, pelaku sedang menjalani proses hukum dan sekolahnya pun sudah ditutup.
"Semoga pengadilan bisa menghukum seberat-beratnya dengan pasal sebanyak-banyaknya kepada pelaku yang biadab dan tidak bermoral ini," kata Emil di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Rabu (8/12/2021).
Emil pun memastikan semua korban telah mendapat pendampingan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Barat.
"Anak-anak santriwati yang menjadi korban, sudah dan sedang diurus oleh tim DP3AKB Provinsi Jawa Barat untuk trauma healing dan disiapkan pola pendidikan baru sesuai hak tumbuh kembangnya," tuturnya.
Menyikapi insiden tersebut, Emil meminta institusi pendidikan dan forum pesantren untuk memberikan perhatian khusus atas kasus seperti ini.
"Meminta forum institusi pendidikan, forum pesantren untuk saling mengingatkan jika ada praktik-praktik pendidikan yang di luar kewajaran," ungkapnya.
Tak hanya itu, ia juga meminta aparat desa dan kelurahan selalu memonitor setiap kegiatan publik di wilayah masing-masing.
"Kepada para orang tua, diminta rajin dan rutin memonitor situasi pendidikan anak-anaknya di sekolah berasrama, sehingga selalu up to date terkait keseharian anak-anaknya," ujarnya.
"Semoga kejadian ini tidak terulang lagi dan keadilan bisa dihadirkan oleh pengadilan kepada kasus ini," kata Emil.
Baca Juga: Kasus Pemerkosaan Santriwati di Bandung: Korban Bertambah Jadi 13 Orang, Seluruhnya Sudah Melahirkan
Sumber : Kompas TV/Kompas.com/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.