JAKARTA, KOMPAS.TV – Penetapan harga tes Polymerase Chain Reaction (PCR), dalam hal ini harga eceran tertinggi (HET), diperlukan karena harga produk terkait penanganan pandemi sifatnya inelastis.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP), Abraham Wirotomo, menjelaskan hal itu dalam Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Minggu (14/11/2021).
“Penetapan harga diperlukan karena harga produk terkait penanganan pandemi yang dikonsumsi oleh masyarakat sifatnya inelastis. Artinya, seperti obat, pelayanan, tes antigen, itu inelastis bagi masyarakat,” tuturnya.
Oleh karena itu, sebagai upaya dari pemerintah untuk memastikan masyarakat dapat menjangkau harga layanan PCR atau antigen, ditetapkanlah batas atas atau HET.
Abraham mengatakan, pemerintah tidak menetapkan satu harga untuk tes PCR, melainkan menetapkan harga tertinggi.
Baca Juga: Gakeslab Mengaku Tidak Dilibatkan dalam Pembahasan HET Tes PCR
“Kita tidak menetapkan satu harga, jadi dipersilakan pada pengusaha untuk menetapkan harga, tapi jangan di atas harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah.”
Jika harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah terlalu rendah dan banyak laboratorium penyedia layanan tes PCR yang tidak bisa menyesuaikan dengan harga, dapat dilihat dari data mingguannya.
“Tentu kalau banyak lab yang tutup, maka jumlah angka testingnya akan menurun. Namun sampai saat ini kita melihat angka testing masih stabil,” tuturnya.
Bahkan menurutnya pemerintah melakukan evaluasi kebijakan mengenai harga tersebut setiap minggu.
“Tes harian kita masih di angka 244 ribu per hari. Itu menunjukkan bahwa masih cukup banyak lab yang mendapatkan cukup margin untuk menjalankan bisnisnya.”
Sementara, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium Indonesia (Gakeslab), Randy H Teguh, menyebut koreksi harga akan terjadi secara otomatis mengikuti kondisi yang ada.
“Kalau teknologi ini diakomodir untuk berbagai macam level harga, dengan jumlah pemakaian yang meningkat, teknologi berkembang, pemainnya makin banyak, otomatis koreksi harga terjadi,” jelasnya.
“Bahkan tanpa pengaturan, kami rasa harga dengan sendirinya turun,” imbuhnya.
Dia mencontohkan harga layanan tes PCR pada tahun lalu. Saat itu tarif tes PCR masih di kisaran Rp1 hingga Rp2 juta, dan merek reagen yang ada hanya satu atau dua merek.
“Bulan Oktober pemerintah menentukan harga Rp900 ribu, saya cek harga reagen Rp400-500 ribu, itu sudah terkoreksi dan jumlah merek ada 5 sampai 10,” lanjutnya.
Selanjutnya, pada bulan Agustus lalu, saat pemerintah menentukan harga tes PCR Rp495 ribu, ada 52 merk dan harga reagen sudah turun menjadi Rp200 ribu.
Baca Juga: Gakeslab Sebut 20 Persen Laboratorium Penyedia Tes PCR Tutup Akibat Pemberlakuan Satu Harga
“Minggu lalu saya cek sudah ada 80 merek dan harga sudah turun lagi Rp150-Rp180 ribu untuk reagennya.”
Sementara, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, isu PCR merupakan salah satu isu di antara banyak isu terkait pandemi yang perlu kita lihat.
“Kita ingin agar harga rasional, pengusaha untung, dan masyarakat juga bisa mengakses,” ucapnya.
Menurutnya ada tiga hal penting untuk dlihat dalam isu PCR. Pertama, soal harga. Kedua, soal distribusi atau ketersediaan alat ini di seluruh wilayah di tanah air dalam jumlah yang memadai. Ketiga, kecepatan dari hasil tes PCR ini dapat diakses publik.
Terkait harga, dia berpendapat sebaiknya dibuat batas atas dan batas bawah, bukan dengan menetapkan satu harga.
“Kenapa sih kita berdebat soal harga PCR ini seolah-olah harganya mesti dipatok satu model begitu. Kita bisa membuat model lebih longgar, bikin saja batas atas dan batas bawah.”
Untuk teknologi yang bisa menerapkan harga murah, lanjut Imanuel, sebaiknya dibiarkan memberikan harga murah. Demikian pula sebaliknya.
“Ada teknologi yang memang bisa murah, ya biarkan saja dia murah, bikin saja batas bawah. Ada juga teknologi yang mahal ya enggak usah dipaksa murah.”
Jika perdebatan soal harga terus berlanjut, dia khawatir akhirnya akan mendekonstruksi kegunaan PCR ini untuk deteksi penanganan pandemi.
Mestinya, kata dia, pemerintah melibatkan semua pihak dalam menentukan penetapan harga tes PCR untuk berdiskusi.
“Ini harga jangan dipatok harga nasional. Kalau kita bicara Jawa-Bali, okelah. Tapi bagaimana di luar Jawa Bali?”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.