Untuk itu, ia mengajak semua pihak untuk berhati-hati memahami deforestasi dan tidak membandingkannya dengan terminologi deforestasi negara lain, karena di situ ada persoalan cara hidup.
Ia mencontohkan soal gaya hidup, misalnya tentang definisi rumah huni menurut masyarakat Indonesia dengan halaman rumah dan sebagainya yang berbeda dengan konsep rumah huni menurut kondisi di Eropa, Afrika dan negara lainnya.
"Jadi harus ada 'compatibilty' dalam hal metodologi bila akan dilakukan penilaian. Oleh karenanya pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detil. Bila perlu harus sangat rinci," ujar dia.
Baca Juga: Menteri LHK Siti Nurbaya: Jakob Oetama Selalu Kedepankan Kepentingan Nasional
Ia juga memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan pembangunan suatu negara. Beberapa negara maju dikatakan sudah selesai membangun sejak tahun 1979-an, selebihnya mereka tinggal menikmati hasil pembangunan.
Artinya sampai dengan sekarang sudah lebih dari 70 tahun untuk masuk ke tahun 2050 saat mereka sebut emisi nol bersih.
"Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional? Memaksa Indonesia untuk 'zero deforestation' di 2030 jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya," ujarnya menegaskan.
Siti lagi-lagi memisalkan kasus di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.
"Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya," kata Siti Nurbaya.
Baca Juga: Joe Biden Kritik China: Klaim Pemimpin Dunia Kok Tak Datang KTT COP26
Sumber : Kompas TV/Ant
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.