JAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Peter Gontha mengungkap sejumlah permasalahan yang membuat Garuda Indonesia merugi bahkan terancam bangkrut.
Permasalahan pertama soal desakan untuk menandatangani kontrak senilai 3 miliar dolar AS untuk 50 pesawat Boeing 737 Max pada tahun 2013/2014.
Diketahui pengadaan Boeing 737 Max merupakan program peremajaan armada dilakukan melalui penggantian atau natural replacement sebanyak 50 pesawat B737-800NG dengan pesawat B737 MAX 8 sesuai perjanjian yang ditandatangani antara Garuda Indonesia dan Boeing pada September 2014.
Baca Juga: Pimpinan DPR Setuju Pembentukan Pansus Garuda Indonesia, Cari Solusi Penyelamatan
Pesawat pengganti tersebut akan tiba secara bertahap mulai tahun 2017 hingga 2023 mendatang, sesuai dengan berakhirnya masa sewa pesawat B737-800NG.
Menurut Peter, saat itu dirinya terpaksa menandatangani kontrak lantaran hanya dikasih waktu 1x24 jam.
Namun saat itu, Boeing 737 Max mengalami kendala dengan munculnya kasus jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 dan Ethiopian Airlines ET 302.
Kedua armada penerbangan tersebut menggunakan Boeing 737 Max yang sama dengan kontrak pengadaan 50 pesawat oleh PT Garuda Indonesia.
Baca Juga: Prabowo Kirim Pesan ke Kader Gerindra: Gunakan Segala Cara Pertahankan Garuda Indonesia!
"Untung hanya satu pesawat yang terkirim karena pesawat tersebut gagal design dan jatuh," ujar Peter dalam akun Instagram pribadinya, @petergontha, Selasa (2/11/2021).
Lebih lanjut Peter menjelaskan pada 2020, dirinya meminta direksi PT Garuda Indonesia untuk membatalkan kontrak 50 pesawat Boeing 737 Max dan mengembalikan satu pesawat yang sudah dikirim.
Namun, sambung Peter, hal tersebut tidak dikerjakan karena alasan kontrak tidak bisa dibatalkan apapun alasannya.
Baca Juga: KPK Siap Telaah Dugaan Mark Up Biaya Sewa Pesawat Garuda yang Diungkap Peter Gontha
Dirinya juga mengaku bersedia dituntut di pengadilan terkait pembatalan kontrak. Dasar pembatalan terkait skandal Boeing dalam pembuatan pesawat 737 Max yang memakan korban.
"Cerita ini Menteri BUMN mungkin tidak diinformasikan. Ini harus saya kasih tau, karena kalau tidak Pak Erick yang disalahkan," tulis Peter.
Masalah kedua yakni dugaan mark up alias peningkatan harga biaya sewa pesawat Garuda.
Peter menyoroti soal pesawat Boeing 777 Garuda. Menurutnya, harga sewa di pasar rata-rata 750 ribu dolar AS per bulan.
Baca Juga: Reaksi Staf Khusus BUMN Terkait Pernyatan "Garuda Mau Dibangkrutkan"
Tapi mulai di hari pertama Garuda bayar dua kali lipat yakni 1,4 juta dolar AS per bulan.
"Uangnya kemana sih waktu di teken. Pengen tahu saja?" cetus Peter di sebuah unggahan di Instagram.
Masalah ketiga yakni sewa pesawat yang mubazir. Peter menyoroti soal pesawat Bombardier CRJ1000.
"Siapa sih brokernya, sekarang nganggur dan dibaikin. ruginya jutaan (dolar)," tulis Peter dalam sebuah unggahan di akun Instagramnya.
Adapun Garuda Indonesia juga telah menghentikan operasional pesawat Bombardier CRJ 1000 ini sejak 1 Februari 2021.
Baca Juga: Erick Thohir Bangga, Jokowi Pakai Garuda Indonesia Kunker ke Luar Negeri
Garuda Indonesia rata-rata merugi lebih dari 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) per tahun karena mengguakan pesawat CRJ 1000.
Kementerian BUMN mensinyalir ada suap di balik kebijakan Garuda Indonesia menyewa Bombardier CRJ 1000.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.