Terlebih, kelompok-kelompok begal atau perampokan itu disebutnya sangat terorganisir. Mereka sudah terbiasa membagi tugas sebelum melaksanakan aksi kejahatan, mulai dari mengincar korban, mengalihkan perhatian, melakukan aksi, dsb.
“Bahkan bukan hanya dari perencanaan pencurian dengan kekerasan, sampai diproses di penyidikan, penuntutan, dan diproses oleh hakim, bahkan sampai di LP (lembaga pemasyarakatan) pun sudah terorganisir, sudah ada sindikatnya yang mengatur semuanya,” paparnya.
Iwan juga menduga bahwa aparat keamanan sudah mengetahui kelompok-kelompok tersebut, mulai dari yang ada di Jakarta Utara, Jakarta Barat, juga di wilayah Jakarta Pusat.
“Kadang mereka pemain di wilayah tersebut atau dari daerah yang datang, misalnya dari daerah tertentu yang masuk wilayah Jakarta,” tuturnya.
Baca Juga: Karyawati Basarnas Tewas Usai Dibegal Kawanan Perampok di Kemayoran
Mengenai kesulitan yang dihadapi dalam memberantas jaringan ini, Iwan mengatakan, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka sudah ahli dalam melaksanakan aksi.
Misalnya, mereka sudah tahu kapan waktu personel keamanan melakukan patroli, atau kapan para karyawan dari lokasi tertentu akan pulang.
“Bahkan dia bisa monitor orang yang pulang kerja dari wilayah tertentu, jam berapa dia pesan ojek, jam berapa keluar, sudah tahu,” tegasnya.
Upaya yang bisa dilakukan adalah terus-menerus melakukan patroli, dan masyarakat pun harus dilibatkan dengan siskamling.
Tentang keterlibatan anak di bawah umur, Asep menyebut, ada tiga penyebab mereka terlibat dalam kasus begal.
Pertama, karena ketidaktahuan. Kedua, karena mereka dibina oleh orang yang lebih dewasa. Ketiga, karena mereka diancam atau ditakut-takuti oleh orang dewasa.
“Mereka diancam, ditakut-takuti. Kalau nggak mau, mereka diancam. Akhirnya mereka ngikutin," jelasnya.
Pandemi disebutnya juga menjadi salah satu pemicu kembali maraknya kasus-kasus begal dan perampokan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.