“Sementara calon lain (Ganjar Pranowo) terus merangkak justru saat di mana mereka tidak mempopulerkan diri sebagai calon presiden. (Elektabilitas -red) Anies bahkan mulai tertinggal dari Ganjar Pranowo.”
Di samping itu, dalam perkembangan situasi politik terkini publik menunjukkan kebutuhannya pada figur-figur alami.
Artinya, model rekayasa pencitraan atau pun sejenisnya tidak lagi dimakan publik dan justru berpotensi negatif bagi figur.
“Kebutuhan publik (sekarang) pada figur alami. Model rekayasa pencitraan dan sejenisnya justru dapat berakibat negatif,” ujar Ray.
“Melebih-lebihkan diripada sesuatu yang tak biasa dilakukan justru dapat mengundang cibiran.”
Baca Juga: Pengamat Prediksi Peluang Anies Baswedan di Pilpres 2024 Gelap Gulita
Sebagai contoh, Ray menggambarkan bagaimana citra merakyat yang hendak dibangun pemerintah Jokowi di periode kedua tapi ternyata gagal.
Alih-alih mendapatkan citra baik, pemerintahan kedua Jokowi justru mendapat kritik.
“Citra yang merakyat misalnya, tidak dapat dipamerkan khususnya sejak periode kedua Jokowi yang banyak mengundang kritik dan ketidakpuasan,” kata Ray.
Ray lebih lanjut menuturkan, khusus di bidang demokrasi, HAM, dan pluralisme memang tidak cukup sekadar memoles diri dengan mengunjungi rumah ibadah, dan sebagainya.
“Dan Anies punya masalah dalam sektor ini. Citra Pilkada DKI yang penuh isu SARA akan membebani Anies. Perlu kerja keras untuk memulihkan citra itu,” ujar Ray.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.