JAKARTA, KOMPAS.TV - Survei Litbang Kompas menunjukkan ada sejumlah figur dari luar elit partai yang berpeluang terpilih di Pilpres 2024, seperti Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil dan Anies Baswedan.
Elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyamai Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di puncak dengan angka 13,9 persen.
Sementara, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memiliki tingkat keterpilihan 9,6 persen dan Ridwan Kamil 5,1 persen.
Baca Juga: Daftar Tokoh yang Sudah Dideklarasikan Jadi Capres 2024: Ganjar, Puan, hingga Anies
Di sisi lain, elite-elite partai politik, seperti Ketua DPP PDIP Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar memiliki elektabilitas tak sampai 1 persen.
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Hurriyah menyebut ada dua poin yang dapat disimpulkan dari hasil survei itu.
Poin pertama terkait kegagalan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan partai politik.
“Masalahnya ada di partai politik. Kemunculan orang-orang yang bukan elite partai mencerminkan kegagalan partai dalam melakukan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan,” jelas Hurriyah pada Kompas TV, Rabu (20/10/2021).
Ia menyoroti pula fenomena di internal berbagai partai politik di mana sulit bagi kader masuk ke lingkaran elite yang dikuasai kelompok tertentu.
“Karakteristik partai kita sekarang ini makin ke arah politik dinasti. Jadi, kekuasaan partai itu hanya dipegang segelintir orang, ada hubungan kekerabatan dan kedekatan,” kata Hurriyah.
“Orang-orang yang misalnya dia dianggap sebagai kader atau orang non kader potensial, itu sulit menembus lapisan utama,” imbuhnya.
Kesimpulan lain dari hasil survei itu terkait kecenderungan masyarakat memilih sosok populer.
“Ini mencerminkan politik elektoral kita sejak ada pemilihan presiden langsung, arahnya semakin kandidat-sentris. Orang itu melihat figur,” papar Hurriyah.
Baca Juga: Relawan Sebut Ganjar Pranowo “The Next Jokowi”, PDI Perjuangan: Kami Catat
Menurut Hurriyah, fenomena ini bahkan terlihat dalam pemilihan legislatif hingga pemilihan kepala daerah (Pilkada).
“Dalam Pilpres atau Pilkada, figur kandidat itu menjadi sangat menonjol. Itu kenapa partai bisa sibuk membuat koalisi macam-macam untuk mengusung orang, tapi sangat mungkin dia kalah dengan figur yang populer di akar rumput,” ujar Hurriyah.
Meski begitu, ia tidak menihilkan kemungkinan bahwa partai politik selalu mengikuti hasil survei.
“Persoalannya, elektabilitas dan popularitas ini bisa dikerek. Tapi, survei ini jadi bahan pertimbangan yang sering digunakan partai karena ingin menang pemilu,” kata Hurriyah.
Ia memberi contoh, elite politik dapat melihat kesuksesan PDIP saat mengusung Joko Widodo pada Pilpres 2014 sesuai hasil survei.
“Pada 2014 lalu juga sama, PDIP mengusung Jokowi di akhir-akhir (sebelum batas pendaftaran capres). Awalnya, ada penolakan cukup keras di internal PDIP,” tutur Hurriyah.
“Tetapi karena survei menunjukkan Jokowi semakin populer, elektabilitasnya semakin tinggi. Kalau partai ingin menang, pilihannya figur yang populer,” lanjutnya.
Meski begitu, sosok populer tetap bergantung dengan dukungan parpol untuk maju menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
Hal itu mengingat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa hanya partai politik atau gabungan parpol dengan minimal 20 persen kursi DPR atau meraih 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2019 yang bisa mengusung capres di Pilpres 2024.
Baca Juga: Survei CPCS: Elektabilitas Ganjar Pranowo Ungguli Prabowo Subianto, Anies Baswedan Peringkat Keempat
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.