JAKARTA, KOMPAS.TV - Di saat kepercayaan publik terhadap polisi sebagai penegak hukum mulai tergerus, menengok kembali sosok Jenderal Hoegeng diyakini mampu mengobatinya.
Hoegeng Iman Santoso, hingga detik ini, masih menjadi wujud panutan bagi lembaga kepolisian di Indonesia karena sarat akan karakteristik yang sederhana, antisuap, namun tetap kuat.
Bahkan, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebut Jenderal Hoegeng sebagai salah satu dari tiga polisi yang tak bisa disuap.
Melansir Harian Kompas, 1 September 2006, Gus Dur menyebutkan bahwa tiga polisi yang paling jujur di Indonesia adalah polisi tidur, patung polisi, serta Jenderal Hoegeng.
Baca Juga: 5 Peristiwa Penting pada 14 Juli: Revolusi Prancis Dimulai hingga Jenderal Purn Hoegeng Wafat
Gurauan sekaligus wejangan tersebut disampaikan oleh Gus Dur dalam sebuah diskusi bertajuk Dekonstruksi dan Revitalisasi Keindonesiaan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Kamis (31/8/2006).
Dengan demikian, dapat dilihat betapa besarnya reputasi dan tak perlu diragukan lagi sepak terjang mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) pada tahun 1968-1971 tersebut.
Jika ditarik lagi ke belakang, nyatanya memang banyak sekali sikap maupun keputusan dari Jenderal Hoegeng yang patut diteladani, khususnya oleh polisi-polisi masa kini.
Hoegeng, anak Kepala Jaksa Karesidenan Pekalongan Sukarjo yang sedari kecil sudah berminat untuk menjadi seorang polisi.
Cita-cita tersebut bermula dari kekagumannya terhadap Kepala Polisi Jakarta Raya Ating Natadikusuma yang gemar menolong rakyat kecil.
"Sejak kecil, saya selalu mengagumi polisi. Saya melihat mereka sebagai pahlawan yang bisa membantu rakyat kecil," kata Hoegeng, dikutip dari buku Memoar: Senarai Kiprah Sejarah.
Demi meraih impiannya itu, Hoegeng pun mencurahkan seluruh usaha dan tekadnya dalam mengikuti setiap ujian kepilosian pada saat ini, semasa kependudukan Jepang.
Hasilnya, setelah menjalani latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943), Hoegeng lantas mendapat tugas pertamanya di Sukabumi lalu dikirim lagi ke Semarang.
Baca Juga: Ini Hasil Rontgen Faris, Mahasiswa yang Dibanting Polisi hingga Kejang-Kejang
Ketika diberi amanah menjadi Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumatera Utara (1956), banyak tantangan dan ujian berat yang dihadapi Hoegeng.
Sejak awal kedatangannya di Medan saja, Hoegeng mendapatkan sambutan yang begitu "manis" dari para cukong di sana. Mereka bahkan teleh menyiapkan sebuah rumah dan mobil untuk Hoegeng.
"Namun, Hoegeng menolak dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapat rumah dinas," tulis sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam dalam Kompas edisi 1 Juli 2004.
Belum menyerah, para cukong tadi mencoba kembali mengambil hati Hoegeng dengan mengisi penuh rumah dinasnya dengan segala macam perabot rumah tangga.
Sudah tidak tahan dengan ulah para cukong itu, Hoegeng pun mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi.
Melihat si pemberi tetap bergeming, dengan segera Hoegeng mengeluarkan semua perabot tersebut dan meninggalkannya di pinggir jalan.
Selain itu, istri Hoegeng, Merry juga sempat diisukan menjadi sasaran penyogokan lewat pemberian cincin berlian dari seorang keturunan India.
Hoegeng yang mengetahui hal tersebut, langsung mencari orang India yang bersangkutan. Akan tetapi, orang itu mengaku tak mengenal Merry setelah keduanya dipertemukan.
Dari beberapa kisah antikorupsi tersebut, pamor Hoegeng sebagai seorang polisi yang memiliki integritas tinggi pun semakin menyebar luas.
Baca Juga: 5 Fakta Terkini Mahasiswa Dibanting Polisi, Kejang-kejang hingga Aparat Berpotensi Langgar HAM
Setelah menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng tak lantas mengakhiri pencapaiannya, namun justru membuka lebih banyak cita-cita lagi.
"Ketika akhirnya saya menjadi Kapolri pada 1968, saya punya banyak cita-cita (lagi)," ungkap Hoegeng, masih dalam buku Memoar: Senarai Kiprah Sejarah.
"Seperti orang lain pada umumnya, saya menaruh banyak harapan terhadap Orde Baru, karena menjanjikan koreksi total terhadap kesalahan Orde Lama," imbuhnya.
Meski begitu, Hoegeng mengakui bahwa tantangan dan harapan yang dihadapinya bertransformasi jauh lebih besar semasa mejalani kewajiban sebagai Kapolri.
"Tidak mudah menjadi polisi yang baik. Persoalan yang dihadapi polisi dari masa ke masa adalah soal citra. Dari sebutan prit jigo sampai citra tukang pukul tahanan."
Contohnya, Hoegeng sempat dibuat kewalahan saat berusaha menghilangkan kebiasaan prit jigo, yakni sebutan bagi polisi yang suka "damai" terhadap pelanggar lalu lintas.
Kedua, peraturan memakai helm yang diprakarsai oleh Hoegeng juga pernah dimanfaatkan oleh oknum polisi yang mengambil keuntungan dengan berbinis pelindung kepala itu.
Selain kedua gebrakan tersebut, ada pula kasus-kasus besar yang tak luput dari tangan dingin Hoegeng, seperti kasus penyelundupan tekstil ke Kostrad, kasus penyelundupan mobil mewah untuk pejabat oleh Robby Tjahyadi.
Hingga yang paling menggemparkan saat itu adalah kasus Sum Kuning, yaitu kasus pemerkosaan yang menimpa seorang penjual telur ayam berusia 18 tahun bernama Sumarijem.
Untuk memecahkan kasus Sum Kuning, Hoegeng pun langsung memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono.
Pada Januari 1971, dibentuklah Tim Pemeriksa Sum Kuning yang bertugas mencari fakta-fakta terkait kasus tersebut.
Sayangnya, kasus Sum Kuning itu menjadi dedikasi terakhir Hoegeng sebagai polisi, karena ia kemudian memutuskan pensiun sebagai Kapolri setelah 10 terduga pemerkosa Sumarijem bersikeras tidak mengakui perbuatannya.
Akhirnya, pada 2 Oktober 1971, Hoegeng resmi mundur sebagai Kapolri dengan kesadaran bahwa ada kekuatan besar yang berusaha menghilangkan kasus Sum Kuning.
Baca Juga: Tagar #PercumaLaporPolisi yang Viral karena Kasus Luwu Timur, Harus Jadi Momentum Pembenahan Polisi
Semasa hidup, Jenderal Hoegeng beserta keluarganya tak pernah lepas dari kehidupan sederhana, bahkan setelah menjadi Kapolri sekali pun.
Ada satu masa, ketika tren bermain golf menyerang para pejabat negara, namun Hoegeng sama sekali tak tertarik untuk mengikutinya.
Alasannya sederhana, bagi Hoegeng, peralatan dan perlengkapan bermain golf itu terlalu mahal harganya dan ia tak ada cukup uang untuk membelinya.
Namun, keluhan justru datang dari seorang menteri yang hendak mengajak Hoegeng bermain "olahraga kalangan atas" itu, bahkan ia pun menawarinya stik golf.
Baca Juga: Kuasa Hukum Minta Mabes Polri Buka Gelar Perkara Khusus Kasus Pemerkosaan Anak di Luwu Timur
Dari kisah Jenderal Hoegeng di atas, para polisi era seakrang seharusnya bisa mengambil setidaknya satu nilai yang patut untuk diteladani.
Mengingat, hingga hari ini yang bertepatan dengan 100 tahun sejak kelahiran Jenderal Hoegeng di Pekalongan, Jawa Tengah, belum ada lagi sosok polisi yang betul-betul mengayomi masyarakat seperti beliau.
Terlebih, baru-baru ini banyak cerminan yang menunjukkan perangai aparat penegak hukum yang berkebalikan dengan dedikasi dan integritas Jenderal Hoegeng.
Mulai dari kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur yang proses penyelidikannya sempat berhenti, serta yang teranyar yakni aksi polisi membanting seorang mahasiswa di Tangerang.
Dengan melihat dua kasus itu saja, dapat dibayangkan bagaimana pandangan masyarakat ke depannya terhadap polisi, jika tidak ada perubahan menuju lebih baik.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.