Tak hanya itu, lanjut Ratna, selain VeP, surat keterangan psikolog selama ini juga seringkali tidak dijadikan alat bukti.
Sementara banyak kasus kekerasan seksual dimana trauma korban belum menunjukkan masalah psikiatris.
Baca Juga: Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di Luwu Timur Dihentikan Sesuai Prosedur, Ini Penjelasan Polri
“Pemeriksaan psikologis tidak mensyaratkan adanya gejala/masalah psikiatris, sehingga dapat menjadi salah satu alat bukti penting dalam kasus kekerasan seksual. Penggunaan alat bukti inipada dasarnya sudah dipraktekkan namun belum merata di semua kepolisian,” ujarnya.
Kemudian, Ratna menambahkan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh ayah kepada anak-anaknya tersebut juga merupakan tindak pidana yang termuat dalam UU No. 23 than 2004 tentang KDRT.
Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana, yang dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Baca Juga: Dugaan Perkosaan Anak di Luwu Timur, KSP: Perkuat Urgensi Pengesahan RUU Pidana Kekerasan Seksual
Dalam Pasal 55 UU KDRT, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Maka dari itu dilihat alat bukti telah cukup untuk menindaklanjuti proses hukum kasus ini.
“Oleh karena itu, Mabes Polri perlu memastikan proses hukum kasus di Luwu Timur di buka kembali tanpa harus menunggu alat bukti baru,” tegas Ratna.
“Polda Sulawesi Selatan perlu terlibat, atau dapat mengambil alih kasus tersebut dan memastikan bahwa proses hukum yang adil dalam kasus ini.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.