JAKARTA, KOMPAS.TV - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan ilmu titen (kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam) yang kerap menjadi pegangan nelayan ambyar akibat perubahan iklim.
“Ilmu titen sudah sangat sulit untuk dijadikan acuan. Cuaca dan iklim saat ini sangat dinamis dan sulit ditebak,” terang Dwikorita dalam keterangannya yang dilansir dari Antara, Jumat (8/10/2021).
Sehingga, kata dia, tidak jarang nelayan harus pulang dengan tangan kosong, karena hasil melaut tidak maksimal.
Bahkan tidak jarang nelayan mengalami kecelakaan dan menjadi korban akibat badai dan gelombang tinggi.
Baca Juga: Info Cuaca BMKG 8 Oktober 2021: Hujan Ringan hingga Petir Berpotensi Turun di 14 Wilayah Ini
Untuk diketahui, para petani dan nelayan sebelum adanya teknologi canggih untuk membaca keadaan cuaca, memiliki kearifan lokal, untuk membaca cuaca.
Misalnya, dengan membaca bintang. Nenek-moyang terdahulu pandai membaca tanda-tanda alam. Mereka memiliki ilmu titen.
Jurnalis Kompas, Trias Kuncahyono dalam artikelnya berjudul Tanda-tanda Zaman, ilmu titen disebutnya sebagai kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam.
Kata titen (bahasa Jawa, titi) berarti tanda. Tetapi, ada pula yang mengartikan sebagai ngati-ati atau berhati-hati.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, sikap kehati-hatian ini memiliki arti peringatan sekaligus nasihat untuk lebih peka terhadap apapun.
Dengan ilmu titen mereka mengamati, menganalisa, dan menyimpulkan suatu kejadian berdasarkan tanda-tanda tertentu yang menyertai.
Sehingga manusia akan niteni atau menandainya sebagai satu kejadian yang akan terjadi.
Masyarakat zaman dulu mengamati setiap tanda-tanda kejadian alam yang berlangsung untuk menentukan mangsa, musim.
Maka kemudian disusun Pranata Mangsa atau Ketentuan Musim. Petani dapat memahami mangsa berdasarkan kejadian atau situasi alam yang dialami, yang terkait dengan usaha taninya.
Para petani dan juga nelayan sebelum adanya teknologi canggih untuk membaca keadaan cuaca, memiliki kearifan lokal, membaca cuaca. Misalnya, dengan membaca bintang.
Baca Juga: Tanda-Tanda Zaman
Namun dalam kenyataannya, lanjut Dwikorita, kearifan lokal tersebut kini sulit diterapkan karena iklim yang sangat dinamis.
Dwikorita menjelaskan, kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi, tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian, termasuk ekosistem wilayah pesisir.
“Perubahan iklim adalah peristiwa global, namun dampaknya dirasakan secara regional ataupun lokal. Tidak ada batasan teritorial negara,” ujar dia.
Kondisi inilah yang memacu BMKG untuk menggencarkan pelaksanaan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) di daerah-daerah pesisir pantai.
Melalui SLCN yang digelar, BMKG ingin nelayan dapat melaut, mendapatkan hasil dan pulang dengan selamat.
SLCN, kata dia, bertujuan untuk meningkatkan keterampilan nelayan Indonesia dalam mengakses, membaca, menindaklanjuti dan mendiseminasikan informasi cuaca, iklim maritim serta informasi prakiraan lokasi ikan dari sumber yang terpercaya.
Selain itu, SLCN juga menjadi bagian dari ikhtiar BMKG mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
"Kegiatan SLCN ini menggunakan pembelajaran interaktif, yaitu metode belajar dan praktik. Materi pokok yang akan diberikan yaitu pengenalan produk dan memahami informasi cuaca dan iklim maritim, cara membaca informasi maritim dan pengenalan alat-alat observasi,” kata Dwikorita.
Baca Juga: Laporan PBB: akan Terjadi Krisis Air Global karena Perubahan Iklim
Sumber : Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.