JAKARTA, KOMPAS.TV - Anggota majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia Saldi Isra mengatakan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia rumit karena melibatkan terlalu banyak pihak dalam prosesnya.
"Pemilu kita yang ruwet dan rumit itu terlalu banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Ada yang menyelesaikan tahapan administrasi, etik, hingga sengketa hasil," kata Saldi Isra dalam Sidang Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Selasa (5/10/2021).
Baca Juga: Golkar Setuju Pemungutan Suara Pemilu 2024 Dilangsungkan 15 Mei
Pernyataan tersebut menanggapi keterangan kuasa hukum Presiden, Wahyu Chandra Purwo Negoro, yang memaparkan desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang melibatkan KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) berperan sebagai pelaksana dan pengendali penyelenggaraan pemilu.
Lembaga tersebut diketahui akan diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pemilu.
Baca Juga: Partai Buruh Yakin Lolos Ambang Batas Parlemen Pemilu 2024
Sementara itu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akan mengawasi sikap dan perilaku anggota KPU dan anggota Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilu.
Dalam pelaksanaannya, DKPP membentuk Majelis Kehormatan DKPP untuk mengawasi penerapan kode etik internal anggota DKPP, sehingga menjamin integritas dan kemandirian masing-masing individu lembaga DKPP.
"KPU, Bawaslu, dan DKPP kan lahir dari pemaknaan atau tafsir konstitusi yang ada dalam Pasal 22E (ayat 5 UUD NRI Tahun 1945)," ujar Saldi Isra.
Baca Juga: Partai Buruh Targetkan Lolos Verifikasi Pemilu 2024
"Sudah ada atau enggak diskusi yang mendalam di internal pemerintah, tentang bagaimana sih desain sistem kepemiluan kita dan desain penyelenggaraan ini ke depan?"
Keberadaan lembaga-lembaga tersebut, menurut Saldi, merupakan akibat dari Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Ketiadaan huruf kapital dalam frasa komisi pemilihan umum menjadikan frasa tersebut ditafsirkan oleh pembuat aturan sebagai fungsi, bukan institusi.
Baca Juga: Empat Hakim MK Sampaikan Alasan Berbeda Soal Alih Status Pegawai KPK, Saldi Isra: ASN Adalah Hak
Adapun hasil dari tafsir pasal itulah yang kemudian mengakibatkan kehadiran lembaga-lembaga pemilihan umum.
"Pemerintah harus berdiskusi terkait ini. Soal pemilu dan penyelenggara pemilu itu tidak terhindarkan tingkat urgensinya," ucap Saldi.
"Mestinya, sudah ada diskusi-diskusi yang kayak begini di Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri)."
Baca Juga: PAN Dukung Usulan Pemerintah soal Waktu Pelaksanaan Pemilu, Dengan Syarat...
Sumber : Kompas TV/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.