Kompas TV nasional berita utama

Pengamat soal TNI-Polri Jadi PJ Kepala Daerah: Kemendagri Sumbang Kemerosotan Nilai Demokrasi

Kompas.tv - 27 September 2021, 14:45 WIB
pengamat-soal-tni-polri-jadi-pj-kepala-daerah-kemendagri-sumbang-kemerosotan-nilai-demokrasi
Mendagri Tito Karnavian. (Sumber: surabaya.tribunnews.com/fatimatuz zahro)
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) disebut telah menyumbang kemerosotan nilai demokrasi Indonesia. Setelah, Mendagri Tito Karnavian berencana untuk menunjuk perwira TNI-Polri duduk sebagai pejabat (pj) Kepala Daerah Tahun 2022-2023.

Demikian Pengamat Politik dari Lingkar Madani Indonesia (LIMA Indonesia) Ray Rangkuti mengatakan melalui keterangan tertulis kepada KOMPAS TV, Senin (27/9/2021). 

“Di tengah melemahnya indeks demokrasi kita, menempatkan perwira TNI/polisi sebagai Pj kepala daerah akan menambah merosotnya penilaian demokrasi tersebut,” kata Ray Rangkuti.

“Sayangnya, poin kemerosotan tersebut malah disumbang oleh Kemendagri yang sejatinya merupakan pengawal demokrasi di lingkaran pemerintah.”

Baca Juga: DPR Minta Pemerintah Kaji Penempatan Pati TNI/Polri sebagai Pjs Kepala Daerah

Ray lebih lanjut menuturkan, bahwa pelibatan perwira TNI-Polri pernah dilakukan pada tahun 2018 tidak dengan sendirinya menjadi dasar diberlakukannya hal yang sama.

“Sebab, pokok soalnya bukan sudah pernah atau tidak, tapi soal desain sistem demokrasi kita,” ujar Ray.

“Pelibatan perwira TNI/polisi dalam pemerintahan juga sudah lazim di era orde baru yang kemudian direvisi sejak era reformasi.”

Ray juga memahami bahwa mengacu pada UU No 10/2016 tentang Pilkada, UU No 5/2014 tentang ASN, UU No 34/2004 tentang TNI dan UU No 2/2002 tentang Kepolisian memang tidak ada pelarangan. Namun sepatutnya, kata Ray, tidak serta membuat Mendagru bebas menjadikan perwira TNI-Polri sebagai kepala daerah.

“Dasar pengelolaannya bukan sekedar boleh atau tidak boleh oleh UU, tapi harus didasarkan juga atas desain sistem demokrasi Indonesia. Dalam kerangka inilah sejatinya penempatan perwira TNI/Polisi sebagai Pj kepala daerah diletakan,” ucap Ray.

Baca Juga: Komisi II DPR Ingatkan Pemerintah untuk Tunjuk Pj Kepala Daerah yang Netral

“Apakah penempatan mereka memang bagian dari tujuan desain dan sistem demokrasi kita yang lebih baik, partisipatif, terbuka, professional dan Madani. Apakah cara ini akan menjadikan institusi khususnya TNI/Polisi akan lebih professional dalam bidangnya masing-masing, dan umumnya institusi pemerintahan dan demokrasi kita.”

Atas dasar itu, Ray menilai sejatinya Kemendagri melihat cara hubungan dan kerja institusional kelembagaan negara.

“Politik bahkan jikapun itu bersifat administratif belaka sebaiknya diserahkan kepada sipil, dan keamanan kepada polisi serta pertahanan kepada TNI,” katanya.

“Pelompatan kewenangan dengan zig zag ala orde baru sebenarnya bertentangan dengan prinsip pengelolaan dan desain setiap kewenangan lembaga negara era reformasi yang kita harapakan. TNI dan tentu saja Polisi RI harus professional merupakan salah satu poin penting dari amanah reformasi.”

Sementara itu, pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menawarkan perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang akan berakhir pada 2022 mendatang.

Sebab, Pilkada serentak yang akan digelar pada November 2024 mengakibatkan Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan sehingga terjadi kekosongan 271 kepala daerah definitif.

Hal itu terjadi, karena akan ada 101 daerah yang tidak melaksanakan pilkada 2022 dan 170 daerah pada tahun 2023.

Dari jumlah tersebut, ada 24 gubernur,  191 bupati, dan 56 wali kota yang habis masa jabatannya. Sesuai aturan mereka akan diganti oleh pelaksana tugas (PLT).

"Sungguh mengerikan bila ada 271 daerah yang dipimpin Plt. Jumlah ini tentu terbanyak selama Indonesia berdiri. Jokowi akan memegang rekor tertinggi sebagai presiden yang daerahnya dipimpin Plt," kata Jamiluddin.

Para Plt  hanya akan melaksanakan tugas rutin. Mereka tidak berwenang mengambil keputusan atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.

"Jadi, kalau pilkada 2022 ditiadakan, maka akan ada 101 PLT di daerah yang selama dua tahun tidak boleh mengambil keputusan strategis. Sementara kalau pilkada 2023 ditiadakan, berarti ada 171 daerah yang dipimpin PLT dan dalam satu tahun daerah itu tidak boleh mengambil kebijakan strategis," tambahnya. 

Menurut  Jamiluddin sulit bagi daerah tersebut dalam dua tahun atau satu tahun tidak diperbolehkan mengambil kebijakan strategis. Apalagi kalau ada masalah krusial yang meminta segera diatasi, tentu para PLT tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kalau hal itu benar-benar terjadi, tentu rakyat di daerah itu yang akan menderita. Rakyat harus menunggu pemimpin daerah definitif, baru bisa diambil kebijakan strategis atas persoalan yang mereka hadapi," ungkapnya.

Apalagi,  pemerintah juga harus menyiapkan 271 Plt. Tentu ini bukan jumlah sedikit yang harus disiapkan menteri dalam negeri. 
 




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x