PANDEGLANG, KOMPAS.TV - Aki Jamil, juru bicara Angling Dharma, mengklaim sosok “Baginda Sultan” Iskandar Jamaluddin Firdaus adalah orang asli Mandalawangi, Pandeglang, Banten yang senang membantu warga sejak dulu.
Ia menyebut, sosok Iskandar Jamaluddin sebagai pemuka agama dari daerah Mandalawangi.
“Bangunan (mirip istana) di Desa Pandat itu dibangun 2004, kalau tidak salah. Kalau beliau, dari tahun 1980 asli orang Mandalawangi dan bangunan beliau ada Pondok Pesantren Ar-Riyadhoh di Desa Sukadalam,” kata Jamil pada Kompas TV, Jumat (24/9/2021).
Menurut Jamil, Iskandar juga disebut kerap membantu warga setempat sejak dahulu.
“Masyarakat Mandalawangi juga mengenal beliau. Dari tahun 1980 sudah dermawan, tapi cuma beliau tidak mau dipublikasikan,” ujar Jamil.
Baca Juga: Jubir Angling Dharma: Baginda Itu Kiai Berjiwa Sosial dan Nyentrik, Kadang Kenakan Pakaian Kerajaan
Sosok baginda itu kerap memperbaiki atau membangun kembali rumah-rumah masyarakat miskin di sekitar mereka.
Ia juga menyebut, pemimpin Kerajaan Angling Dharma ini membangun rumah warga miskin dengan uang pemberian dari para santrinya.
“Tidak dibantu oleh pemerintah atau sumbangan-sumbangan. Itu murni semuanya pekerjaan Baginda,” beber Jamil.
Jamil menyangkal kelompoknya sebagai kerajaan dan Iskandar Jamaluddin sebagai seorang raja.
“Kami santri, beliau latar belakangnya itu kiai atau ulama. Kami diajari tentang sosial oleh beliau, zikiran tiap malam minggu, semacam wejangan-wejangan tentang kehidupan kita harus bermasyarakat,” tutur Jamil.
Sementara, penamaan Angling Dharma adalah sebagai bentuk simbol ajaran Iskandar Jamaluddin agar muridnya suka menolong orang lain.
“Angling Dharma itu hanya simbol atau isyarah. Ya intinya hidup itu harus mendarma harus berbakti,” tambah Jamil.
Di sisi lain, sejarawan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Mufti Ali menyebut Angling Dharma sebagai mitos atau cerita rakyat.
“Dalam historiografi lokal, baik yang ditulis orang Banten maupun peneliti dari luar, termasuk peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional memang tidak pernah ada istilah kerajaan Angling Dharma sebagai sebuah entitas politik. Angling Dharma lebih pada cerita rakyat, seperti cerita lainnya,” jelas Mufti.
Baca Juga: Sejarawan: Kerajaan Angling Dharma Tidak Ada dalam Sejarah
Menurut Mufti, kemunculan sosok orang kuat di Banten bukan kali ini saja terjadi. Umumnya, sosok-sosok semacam “Baginda Sultan” Iskandar Jamaluddin Firdaus memang muncul sebagai pembela kaum lemah.
“Dalam sejarah Banten, fenomena pengakuan seperti ini atau muncul ke permukaan tentang sosok yang mengesankan dari sisi pembelaan pada kaum lemah itu sering kali muncul,” terang Mufti.
Ia memberi contoh kemunculan Nyimas Gamparan di selatan dan wilayah Serang timur. Kemudian, gerakan-gerakan ratu adil, seperti Ki Wasyid di Cilegon dan Syekh Tubagus Zakaria.
“Ini mengenai konstruksi pengetahuan masyarakat dan keterkesanan terhadap praktik-praktik filantropis (kedermawanan) dan simbol-simbol 'regalia' (lambang penguasa berdaulat), keagungan, tradisi, seperti singgasana, pakaian,” beber Mufti.
“Kemudian, dia juga melegitimasi diri bahwa masih trah dengan Kesultanan Banten. Itu memang bagian dari glorifikasi (pemuliaan) dan personifikasi (pelambangan) dari dia, ditambah citra dan kharismanya di tengah masyarakat,” imbuhnya.
Mufti pun menyoroti Angling Dharma sebagai mitos yang lebih umum terdengar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Karena keterkesanan tadi, umumnya tidak kritis. Mitos Angling Dharma yang sebenarnya lebih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ketika muncul di Pandeglang, orang menerima saja,” ujarnya.
Karena itu, ia meminta masyarakat tidak membesar-besarkan fenomena Kerajaan Angling Dharma ini.
Baca Juga: Pastikan Tak Ada Kegiatan Menyimpang, Kerajaan Angling Dharma Dijaga Ketat oleh Polisi
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.