Baca Juga: Terkait Banjir, Ini 5 Perusahaan Tambang Terbesar di Kalsel
Oleh sebab itu, Sri Mulyani menegaskan perlu komitmen semua pihak untuk menghadapi perubahan iklim.
“Tidak hanya bergantung pada satu aktor apakah pemerintah, satu negara meskipun dia powerfull sekalipun tidak akan bisa. Satu perusahaan tidak akan bisa, satu sektor tidak akan bisa. Jadi ekosistem seluruh dunia harus berubah,” tegasnya.
Perubahan iklim saat ini terus menjadi sorotan di seluruh dunia. Beberapa tahun belakangan, perubahan iklim terlihat makin nyata saat terjadi gelombang udara panas di Siberia dan benua Amerika bagian utara.
Pada akhir Juni 2021 silam, gelombang panas menyebabkan suhu di Siberia, Kanada, dan Amerika Serikat mencapai 50 derajat celcius. Suhu panas itu bahkan sampai mencairkan lapisan es abadi (permafrost).
Perubahan iklim juga memperparah cuaca ekstrem hingga salah satunya menyebabkan banjir di Eropa, tepatnya di Jerman, Belgia dan Belanda sejak 13 Juli 2021.
Melansir Sciencemag, pakar banjir dan hidrologis Fred Hattermann menyebut beberapa sungai di Eropa terdampak perubahan iklim hingga menyebabkan banjir lebih mungkin terjadi.
Baca Juga: Berbeda tapi Saling Berkaitan, Apa Perbedaan Cuaca dan Iklim?
Sementara, Indonesia juga terancam kelangkaan air bersih. Kajian Bappenas menunjukkan, kelangkaan air akan makin meluas di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara pada 2030.
“Daerah-daerah yang mengalami defisit air meluas, sementara wilayah-wilayah basah di bagian barat dan tengah Jawa semakin berkurang,” ujar Heru Santoso dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dilansir dari Lipi.go.id.
Heru mengatakan, faktor terbesar penyebab krisis air di Jawa adalah perubahan iklim.
“Ada perubahan siklus air yang membuat lebih banyak air yang menguap ke udara karena peningkatan temperatur akibat perubahan iklim,” jelas Heru.
Sumber : Kompas TV/Antara/Lipi/Sciencemag
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.