JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan beberapa catatan terkait rencana pelaksanaan vaksin berbayar guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Beberapa catatan tersebut disampaikan Ketua KPK, Firli Bahuri, yang turut menghadiri rapat koordinasi (rakor) membahas pelaksanaan vaksinasi gotong royong bagi individu tersebut pada Senin (12/7/2021).
Baca Juga: Bisakah Pemerintah Ambil Alih Vaksin Berbayar Untuk Vaksin Massal? (4) - SATU MEJA
"Saya hadir dalam rapat dan saya sampaikan pertimbangan, latar belakang, landasan hukum, rawan terjadi fraud (kecurangan), saran tindak lanjut," kata Firli dalam keterangan resminya yang dikutip pada Kamis (15/7/2021).
"Saya menyampaikan materi potensi fraud mulai dari perencanaan, pengesahan, implementasi, dan evaluasi program."
Hadir pula dalam rakor tersebut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh, dan Jaksa Agung S.T. Burhanuddin.
Baca Juga: Ide Awal Vaksin Berbayar, Ini Begini Asal Usulnya (2) - SATU MEJA
Dalam rakor itu, Firli Bahuri menyampaikan saran dan langkah-langkah strategis menyikapi potensi kecurangan jika vaksin berbayar dilaksanakan kepada masyarakat serta vaksinasi selanjutnya.
"Saya tentu tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan. Saya ingin tidak ada korupsi," ucap Firli.
Namun demikian, Firli menyampaikan sejumlah saran terkait hal tersebut.
Berikut enam saran yang disampaikan Firli:
1. KPK memahami permasalahan implementasi vaksinasi saat ini sekaligus mendukung upaya percepatan vaksinasi.
2. Penjualan vaksin gotong royong kepada individu melalui Kimia Farma meskipun sudah dilengkapi dengan permenkes, menurut KPK berisiko tinggi dari sisi medis dan kontrol vaksin (reseller bisa muncul dan lain-lain), efektivitas rendah, dan jangkauan Kimia Farma terbatas.
Baca Juga: Banyak Yang Terpapar Covid, Etiskah Vaksin Berbayar? (3) - SATU MEJA
3. Perluasan penggunaan vaksin gotong royong kepada individu ini direkomendasikan, yakni hanya menggunakan Vaksin Gotong Royong tidak boleh menggunakan vaksin hibah, baik bilateral maupun skema COVAX, dibuka transparansi data alokasi dan penggunaan Vaksin Gotong Royong (by name, by address, dan badan usaha).
Selanjutnya, pelaksanaan hanya melalui lembaga/institusi yang menjangkau kabupaten/kota, misalnya rumah sakit swasta se-Indonesia atau Kantor Pelayanan Pajak karena mereka mempunyai database wajib pajak yang mampu secara ekonomis atau lembaga lain selain retail, seperti Kimia Farma, dan perbaikan logistik vaksin untuk mencegah vaksin mendekati kedaluwarsa dan distribusi lebih merata.
4. Sesuai dengan Perpres Nomor 99 Tahun 2020, Menkes diperintahkan untuk menentukan jumlah, jenis, harga vaksin, serta mekanisme vaksinasi.
5. Perlu dibangun sistem perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan monitoring pelaksanaan Vaksin Gotong Royong secara transparan, akuntabel, dan dipastikan tidak terjadi praktik kecurangan.
6. Data menjadi kata kunci sehingga Kemenkes harus menyiapkan data calon peserta vaksin gotong royong sebelum dilakukan vaksinasi.
Baca Juga: Maju Mundur Vaksin Berbayar (1) - SATU MEJA
Selain itu, Firli juga memberikan tiga catatan lainnya, yakni KPK tidak mendukung pola Vaksin Gotong Royong melalui Kimia Farma karena efektivitasnya rendah.
Sementara, tata kelolanya berisiko, lembaga antirasuah itu mendorong transparansi logistik dan distribusi vaksin yang lebih besar.
"Sebelum pelaksanaan vaksin mandiri, Kemenkes harus memiliki data peserta vaksin dengan berbasis data karyawan yang akuntabel dari badan usaha, swasta, instansi, dan lembaga organisasi pengusaha atau asosiasi," ujar Firli.
Baca Juga: Menkes Budi Blak-blakan Munculnya Kebijakan Vaksin Berbayar bagi Individu, Ini Penjelasannya
Sumber : Kompas TV/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.