SOLO, KOMPAS.TV- Sejak ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 Juni 2017 silam, praktis Hari Asteroid Internasional pada tahun 2021 ini merupakan edisi keempat.
Dikenal pula sebagai Hari Asteroid, peringatan ini secara resmi dideklarasikan PBB melalui Resolusi no. 492 Sidang Umum ke–71 yang disahkan pada 6 Desember 2016.
Peringatan Hari Asteroid bertujuan menumbuhkembangkan kesadaran umat manusia terhadap potensi bencana alam dari langit yang hadir dalam bentuk tumbukan benda langit.
Dengan kata lain, agar kita semua mewaspadai kemungkinan tubrukan asteroid atau komet ke Bumi sebagai sebuah potensi bencana.
Baca Juga: Asteroid Sebesar Dua Kali Lapangan Bola Dekati Bumi Sore Ini, tapi....
Pengamat dan Peneliti Kebumian serta Kebencanaan Ma'rufin Sudibyo, dalam kolomnya di Kompas.com, 1 Juli 2020 menuliskan bahwa kedudukan Hari Asteroid adalah selayaknya Hari Tsunami, yang secara resmi bernama Hari Kewaspadaan Tsunami Sedunia dan diperingati setiap 5 November.
“Karena tumbukan benda langit sanggup memproduksi bencana alam yang dampaknya setara dengan bencana alam lainnya seperti bencana hidrometerologi dan bencana geologi. Bahkan jika melampaui ambang batas tertentu dampak tumbukan benda langit jauh melampaui tingkat keparahan bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami maupun letusan gunung berapi,” ungkap Ma’rufin Sudibyo.
Ia mencontohkan, adanya Letusan Toba Muda 75.000 tahun silam sebagai letusan gunung berapi terdahsyat di muka Bumi dalam 27 juta tahun terakhir.
Dahsyatnya dampak letusan ini menyebabkan populasi manusia saat itu diduga berkurang, seperti terlihat melalui penyusutan genetik.
Akan tetapi, energi letusan tersebut hanyalah seperduaratus saja dibanding kedahsyatan peristiwa Tumbukan Chicxulub 65 juta tahun silam.
Tumbukan ‘kiamat’ itu menyapu populasi dinosaurus dari panggung kehidupan di muka Bumi bersama dengan 75 persen kelimpahan makhluk hidup lainnya yang sezaman.
Baca Juga: 4 Fenomena Langit Hiasi Malam Ini: Salah Satunya Asteroid 2021 AF8 Lewat Dekat Bumi
Dalam kolomnya itu, Ma’rufin Sudibyo juga menuliskan bahwa Peristiwa Tunguska pada 30 Juni dipilih menjadi Hari Asteroid sebagai pengingat atas Peristiwa Tunguska 30 Juni 1908, yakni kejadian tumbukan benda langit terdahsyat dalam sejarah manusia modern.
“Terdahsyat dalam konteks energinya dan dampaknya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terkait peristiwa tumbukan benda langit,” tulisnya dalam kolom tersebut.
Menurut dia, sepanjang sejarah peradaban, telah berkali–kali terjadi sejumlah peristiwa tumbukan asteroid.
Misalnya peristiwa Kaalijarv 7.600 tahun silam di Estonia, peristiwa Campo del Cielo 4.500 tahun silam di Argentina hingga peristiwa Henbury 4.200 tahun silam di Australia.
Namun detailnya sangat terbatas karena hanya bisa dideduksi secara tak langsung berdasarkan jejaknya di batuan, selain lewat aneka legenda setempat dan cerita lisan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Baca Juga: Darurat Prediksi Asteroid Tubruk Eropa dan Amerika, Para Ahli Gelar Simulasinya di Wina
Ia mengatakan, karakter Peristiwa Tunguska jauh berbeda. Selain pernyataan para saksi mata langsung, inilah untuk pertama kalinya umat manusia berkesempatan mengelaborasi dampak tumbukan benda langit melalui radas (instrumen) seismik, magnetik dan barometrik selain melaksanakan penyelidikan lapangan.
Meski masih menyisakan misteri di sejumlah bagiannya; lewat Peristiwa Tunguska–lah, terbentuk pemahaman manusia modern tentang bahaya yang bisa datang dari langit.
Peristiwa Tunguska menjadi subyek penyelidikan panjang, yang diinisiasi ekspedisi lapangan Leonard Kulik pada 1927 dan berlanjut dengan gelombang penyelidikan–penyelidikan selanjutnya hingga sekarang.
Pada saat ini, telah diketahui bahwa segala keriuhan di penghujung Juni 1908 disebabkan sebutir asteroid yang jatuh menumbuk Bumi. Riset–riset termutakhir yang dikompilasi badan antariksa Amerika Serikat (NASA) menunjukkan asteroid tersebut berkomposisi batu dengan dimensi antara 50 hingga 80 meter, seukuran bukit kecil.
Baca Juga: Seukuran Lebih dari Tiga Lapangan Bola, Asteroid 2011 FO32 Lewati Bumi 21 Maret
Melaju secepat 15 kilometer per detik (54.700 km/jam) kala mulai memasuki atmosfer, awalnya selimut udara Bumi mencoba meredamnya dengan memperlakukannya sebagai meteor.
Permukaan asteroid pun tergerus sedikit demi sedikit dan memijar sangat terang, yang pada puncaknya sampai puluhan kali lebih benderang ketimbang Matahari.
Namun dengan dimensinya yang masih terlalu besar, maka atmosfer tak punya cukup waktu guna menetralisir ancamannya sampai tuntas.
Sisa asteroid siap menghantam paras Bumi sebelum satu peristiwa mengesankan terjadi. Oleh karena meluncur ke target dengan sudut lintasan relatif kecil ke bidang datar, yakni berkisar 30 derajat atau kurang, maka di bawah ketinggian 20 kilometer mulai terjadi pelepasan energi sangat besar dalam tempo singkat.
Terjadilah airburst, kejadian–mirip–ledakan–di udara, yang melepaskan energi 15 hingga 30 megaton TNT atau setara dengan 750 hingga 1.500 butir bom nuklir Nagasaki yang diledakkan serentak.
Energi yang sangat besar dihantarkan ke segenap penjuru lewat menjalarnya gelombang kejut dan paparan sinar panas. Hantaman gelombang kejut ke paras Bumi membuat batang–batang pohon hutan taiga ambruk massal ke arah–arah tertentu.
Baca Juga: Asteroid "Dewa Kehancuran" Akan Lewati Bumi Pada Akhir Pekan Ini
Sementara paparan sinar panas menyebabkan batang–batang pohon terpanaskan hebat hingga spontan menyala tanpa disulut.
Airburst juga menyebabkan sisa asteroid hancur lebur menjadi debu tanpa meninggalkan potongan besar yang bisa menciptakan kawah tumbukan di paras Bumi.
Sebaliknya, sebagian besar debu tersebut membumbung tinggi ke lapisan startosfer dan melebar luas hingga menciptakan malam–malam menakjubkan bagi Eropa saat memantulkan sinar Matahari senja.
Setelah itu sejumlah peristiwa tumbukan benda langit pun terjadi dan menjadi catatan sejarah. Apa yang menggelisahkan dari Peristiwa Tunguska adalah bahwa kejadian airburst dalam tumbukan benda langit pada dasarnya serupa dengan peristiwa ledakan nuklir atmosferik, minus radiasinya.
Andaikata Peristiwa Tunguska terjadi saat ini dengan mengambil tempat misalnya di atas DKI Jakarta, niscaya segenap propinsi ini akan terbakar dan hancur berantakan akibat terpaan sinar panas bersama dengan hempasan gelombang kejut.
Kesadaran bahwa sebutir asteroid yang relatif kecil saja dapat menyebabkan kerusakan besar kian tumbuh dengan berkaca pada kejadian di Chelyabinsk.
Selain bertujuan menggugah kesadaran manusia masa kini akan potensi bahaya tumbukan benda langit khususnya tumbukan asteroid.
Hari Asteroid juga ditujukan untuk membangun teknologi yang memungkinkan guna mendeteksi dan melacak pergerakan populasi kelopok asteroid berpotensi bahaya yang bisa mengancam peradaban manusia.
Baca Juga: LAPAN: Suara Dentuman di Bali Diduga Asteroid Jatuh ke Bumi
Deteksi dan pelacakan tersebut seyogyanya dilaksanakan baik oleh institusi pemerintah, lembaga swasta maupun organisasi–organisasi filantropis.
“Diharapkan dalam tempo sepuluh tahun pasca proklamasi Hari Asteroid, umat manusia mampu menemukan dan melacak sedikitnya 100.000 asteroid berpotensi bahaya yang baru dalam setiap tahunnya. Sehingga sistem peringatan dini untuknya dapat segera dibangun,” tambahnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.