JAKARTA, KOMPAS.TV - Polri menolak mengusut dugaan penerimaan gratifikasi yang diduga dilakukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri terkait penyewaan helikopter.
Dalam dugaannya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung Firli Bahuri menerima gratifikasi senilai Rp141 juta.
Baca Juga: Akun Instagram WatchDoc dan Twitter Film KPK EndGame Diretas, Dandhy Laksono: Panitia Nobar Diteror
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono, menjelaskan alasan Polri tidak menangani kasus Firli tersebut.
Menurut dia, pertimbangan Bareskrim Polri adalah kasus itu telah ditangani oleh Dewan Pengawas KPK atau Dewas KPK.
"Tentunya Bareskrim telah memiliki pertimbangan-pertimbangan karena hal-hal yang dilaporkan sudah pernah diusut di internal daripada KPK itu sendiri," kata Rusdi di Mabes Polri, Jakarta, Senin (7/6/2021).
Karena itu, Rusdi meminta kepada semua pihak untuk menghormati azas praduga tak bersalah terkait penerimaan gratifikasi Firli Bahuri.
Namun demikian, dia tak menjelaskan lebih lanjut apakah laporan ICW itu telah dikembalikan kepada Dewas KPK atau tidak.
Baca Juga: MAKI Berhadapan dengan KPK dalam Praperadilan SP3 Tersangka BLBI Hari ini
"Kalau tindakan pidana kita tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Semua harus didalami apalagi menyangkut hal-hal yang gratifikasi atau korupsi seperti itu perlu pendalaman," tutur Rusdi.
"Sehingga sekali lagi hal-hal tersebut tidak serta merta, tapi perlu pendalaman dari laporan tersebut."
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan penerimaan gratifikasi saat melakukan perjalanan pribadi menggunakan helikopter ke Ogan Komering Ulu, Baturaja, pada 20 Juni 2020.
Adalah Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, yang melaporkan Firli ke Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri.
Baca Juga: Mahfud MD: Terhitung 12 Kali, Sejak Dulu KPK Mau Dirobohkan Lewat Undang-Undang
"Kami menyampaikan informasi dan laporan terkait dengan dugaan kasus penerimaan gratifikasi yang diterima Ketua KPK Firli Bahuri terkait dengan penyewaan helikopter," kata Wana pada Kamis (3/6/2021).
Dalam sidang kode etik Dewas KPK, Firli mengaku menyewa helikopter dari PT Air Pasifik Utama sekitar Rp 7 juta per jam. Harga itu belum termasuk pajak, sehingga untuk sewa 4 jam menghabiskan Rp 30,8 juta.
Sedangkan informasi yang diterima dari perusahaan jasa penyewa lainnya, harga sewa per jam untuk jenis helikopter yang dipakai Firli senilai USD 2.750 atau setara Rp 39,1 juta. Maka untuk sewa 4 jam senilai Rp 172,3 juta.
“Ketika kami selisihkan harga sewa barangnya ada sekitar Rp 141 juta. Sekian juta yang diduga itu merupakan dugaan penerimaan gratifikasi atau diskon yang diterima oleh Firli,” ujar Wana.
Baca Juga: Mahfud MD Sebut Presiden Jokowi Pernah Ingin Terbitkan Perppu KPK, tapi Diganjal DPR dan Parpol
Wana kemudian menjelaskan, bahwa perusahaan yang menyewakan helikopter kepada Firli salah satu komisarisnya merupakan atau pernah dipanggil oleh KPK sebagai saksi dalam kasus Bupati Bekasi.
"Kami lakukan investigasi, bahwa salah satu komisaris yang ada di dalam perusahaan PT Air Pasific Utama merupakan atau pernah dipanggil menjadi saksi dalam kasus Bupati Bekasi, Neneng, terkait dengan dugaan suap pemberian izin di Meikarta," ujar Wana.
"Dalam konteks tersebut, kami menganggap dan mengidentifikasi bahwa apa yang telah dilakukan Firli Bahuri, terkait dengan dugaan penerimaan gratifikasi."
Atas perbuatannya itu, Firli Bahuri diduga telah melanggar pasal 12 B undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca Juga: Mengaku Dukung KPK, Mahfud MD Akui Tak Bisa Berbuat Banyak Soal Pemecatan 51 Pegawai KPK
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.