JAKARTA, KOMPAS.TV - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak gugatan uji materil (judicial review) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman pada sidang yang disiarkan di YouTube MK RI, Selasa (4/5/2021).
Tim Advokasi UU KPK yang mengajukan gugatan tersebut terdiri dari mantan pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, Saut Situmorang dkk.
Penolakan perkara ini bernomor 79/PUU-XVII/2019 itu didasarkan oleh beberapa pertimbangan majelis hakim.
Baca Juga: Peneliti ICW: Pemecatan Pegawai Tidak Lolos Tes Wawasan Kebangsaan Merupakan Upaya Pelemahan KPK
Di antaranya, terkait UU KPK yang tidak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Polegnas) DPR.
Pihak MK menilai dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, RUU KPK sudah masuk dalam Prolegnas sejak lama.
Menurutnya, terkait lama atau tidaknya pembahasan tergantung pada UU itu sendiri.
"Terutama untuk mengharmonisasi antara RUU yang satu dengan yang lain sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan waktu dalam melakukan harmonisasi undang-undang," kata Arief.
Pihak MK juga berpendapat, UU KPK sudah memenuhi asas kejelasan tujuan.
"Dengan dicantumkannya maksud dan tujuan penyusunan UU di Penjelasan Umum, maka telah memenuhi asas kejelasan tujuan," katanya.
Pihak MK juga membantah pernyataan terkait dalil tidak dilibatkannya aspirasi masyarakat dalam penyusunan UU KPK hasil revisi.
Berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan DPR, mereka menyatakan sudah melibatkan masyarakat dan stakeholder termasuk di dalamnya pimpinan KPK dalam perumusan RUU.
"Menemukan fakta bahwa beberapa kali KPK menolak menghadiri pembahasan perihal revisi Undang-Undang KPK hal demikian berarti bukanlah pembentuk undang-undang, DPR dan presiden yang tidak mau melibatkan KPK, tetapi secara faktual KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi Undang-Undang KPK," ujar Hakim konstitusi Saldi Isra.
Baca Juga: MK Bacakan Putusan Uji Materi UU KPK, Ini Respons ICW
Lalu, terkait dengan penolakan dari kalangan masyarakat terkait pengesahan RUU KPK, MK menilai hal ini sebagai bagian dari kebebasan berpendapat.
Saldi melanjutkan, terkait dalil naskah akademik fiktif juga dinilai mahkamah tidak beralasan menurut hukum.
Begitu pula terkait dalil tidak kuorumnya pengesahan RUU KPK dalam rapat paripurna, yang dinilai mahkamah tidak beralasan menurut hukum.
"Naskah akademik yang dijadikan bukti oleh para pemohon adalah naskah akademik yang memiliki halaman depan atau cover per-tanggal September 2019 sementara naskah akademik yang dijadikan lampiran bukti oleh DPR tidak terdapat halaman depan atau kabar dan tidak tercantum tanggal," ucap Saldi Isra.
Namun, ada satu hakim konstitusi, Wahiduddin Adams yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion mengenai perihal pemohonan pengujian formil UU KPK tersebut.
Wahiduddin berpendapat MK seharusnya mengabulkan permohonan uji materi UU KPK.
Selain Agus Rahardjo dkk, ada 6 permohonan uji materi UU KPK lainnya yang hingga saat ini prosesnya masih berlanjut.
Baca Juga: KPK Update Hasil Penilaian Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai, Termasuk Novel Baswedan?
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.