JAKARTA, KOMPAS.TV - Setiap 1 Mei, para pekerja di seluruh dunia memperingati May Day atau Hari Buruh Internasional. Namun, apa karyawan dan pegawai tak bisa ikut memperingati hari buruh?
Masyarakat Indonesia mengenal istilah buruh, pegawai, pekerja, dan karyawan. Ada konotasi negatif atau rendah dalam kata “buruh” dan “pekerja”.
Sudah jamak jadi pemahaman umum bahwa “buruh” dan “pekerja” biasanya berhubungan dengan orang yang bekerja tanpa keterampilan. Mereka sering dianggap rendah dan patut menerima gaji rendah.
Baca Juga: Sejarah THR, Jasa Demo Buruh untuk Pekerja Swasta
Sementara, “karyawan” dan “pegawai” kerap terkait dengan orang yang bekerja di kantor. Ada anggapan, kelompok ini memiliki keterampilan khusus dan patut menerima gaji lebih tinggi dari buruh.
Pembedaan “Buruh” dan “Karyawan”
Tak banyak yang tahu, pembedaan “buruh” dan “karyawan” berhubungan dengan perang ideologi sejak awal kemerdekaan.
Karyawan sendiri adalah istilah yang muncul belakangan. Istilah ini datang dari kalangan TNI Angkatan Darat.
Ada perbedaan pandangan soal waktu istilah ini muncul. Penulis sejarah Appridzani Syahfrullah menyebut, Angkatan Darat sudah memopulerkan istilah karyawan sejak dekade 1950-an.
“Angkatan Darat juga berdalih bahwa istilah karyawan mempunyai medan makna yang kooperatif dan dapat meredam potensi perselelisihan antara pekerja dan pemberi kerja,” tulis Appridzani, dilansir dari Tirto.id.
Hal ini terkait perang urat syaraf dengan kaum komunis yang memandang istilah “buruh” lebih layak untuk pekerja. Mereka menganggap istilah itu dapat mewakili kelas bawah atau proletar.
“Jika ingin meredam potensi perselisihan, majikan seharusnya menyelesaikan persoalan (buruh) dengan demokratis, bukan sekadar mengganti istilah,” tulis Appridzani lagi.
Baca Juga: Jokowi Saat May Day 2021: Buruh Aset Besar Bangsa Kita
Sementara, penulis sejarah Martin Sitompul menyebut, istilah “karyawan” muncul sejak dekade 1960-an. Ia mengutip sejarawan David Reeve dalam buku Golkar: Sejarah yang Hilang.
Kemunculan istilah itu berkaitan dengan Operasi Karya Angkatan Darat.
“Operasi Karya mengizinkan penggunaan ABRI dalam proyek-proyek pembangunan pemerintah di bidang produksi dan distribusi dalam semua tingkatan hingga rehabilitasi dan pembangunan pedesaan,” catat David Reeve.
Selain itu, Martin Sitompul menyebut kemunculan istilah “karyawan” tak lepas dari kehadiran Serikat Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia (SOKSI).
SOKSI adalah organisasi pekerja yang disponsori TNI Angkatan Darat. Organisasi ini berdiri pada 1963.
Meski begitu, pembedaan istilah terkait orang yang memburuh ini sudah muncul 9 tahun sebelumnya. Pada 1954 pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 53.
Baca Juga: Mengenal Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Ini Syarat dan Manfaatnya
Mengutip Dewi Yuliati dalam Nasionalisme Buruh dalam Sejarah Indonesia, Appridzani menyebut PP ini muncul sebagai usaha pemerintah menengahi perselisihan antara Angkatan Darat dengan kaum komunis.
PP ini menggunakan kata “pekerja” dan “pegawai”.
“Pekerja menurut peraturan ini ialah mereka yang, terutama berhubungan dengan kebutuhan akan tenaga jasmani dan/atau ketangkasan mereka dalam sesuatu jenis pertukangan, diterima untuk diperkerjakan untuk waktu tidak terbatas pada pelbagai usaha Pemerintah dan yang diberi upah tidak menurut peraturan gaji yang berlaku bagi Pegawai Negeri,” demikian tertulis dalam PP itu.
Dari sini sudah muncul konotasi lebih rendah dalam istilah orang yang memburuh. Pekerja terkait dengan pekerjaan yang membutuhkan “tenaga jasmani” dan terkait “pertukangan”.
“‘Yang berhak menerima pekerja’ ialah Kepala Jawatan/Kantor yang bersangkutan atau pegawai jawatan setempat yang mendapat kekuasaan untuk menerima pekerja,” tulis aturan itu lagi dalam Penjelasan Pasal 2.
Belakangan, Suharto naik ke tampuk kekuasaan usai peristiwa G30S. Pemerintahan Suharto yang berasal dari Angkatan Darat memopulerkakan istilah karyawan.
Menurut pakar politik dan pemerintahan Daniel Dhakikdae, hal ini berkenaan dengan cara pandang Orde Baru yang menjunjung "kesatuan" dan “ke-tengah-an”.
Baca Juga: Cendekiawan Daniel Dhakidae Meninggal di Usia 76 Tahun
“Organisasi karyawan yang pada akhirnya membentuk negara karyawan dengan Golongan Karya sebagai puncak dari seluruh paradigma itu,” tulis Daniel dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.
Terlepas dari segala pembedaan itu, sosiolog Ariel Heryanto enteng saja memilih melupakannya.
“Selamat Hari Buruh. Juga untuk buruh yang tak suka disebut buruh dan lebih nyaman disebut karyawan, pegawai, dosen, pilot, perawat, desainer, barista, chef, tenaga ahli, dsb,” cuit Ariel di akun Twitter miliknya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.