Kala itu, Umbu Landu Paranggi bersekolah di SMA Taman Siswa dan berlanjut ke SMA Bopkri Kotabaru.
Di sana, ia bertemu dengan seorang guru Bahasa Inggris bernama Lasiyah Soetanto yang kemudian dikenal sebagai "guru yang tidak menggurui", meminta Umbu untuk membacakan puisinya di depan kelas.
Singkatnya, pada tahun 1960-an, Umbu Landu Paranggi dipercaya untuk mengelola rubrik budaya di mingguan Pelopor Yogyakarta.
Umbu juga memiliki peran penting apresiasi sastra yang dilakukan di emperan toko Jalan Malioboro, Yogyakarta, yang kemudian melahirkan sejumlah sastrawan besar.
Baca Juga: Mengenang Sastrawan Ramadhan KH, Lahir dan Meninggal Pada 16 Maret
Sastrawan yang lahir dari apresiasi sastra di Jalan Malioboro ini adalah Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Ramoan, Yudistira Adhi Nugraha, Suryadi AG, hingga Ebiet G Ade. Tak heran, ia dijuluki Presiden Malioboro.
Pada 1968, Umbu Landu Paranggi bersama penyair Suwarna Pragolapati, Imam Budi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara, mendirikian kelompok Persada Studi Klub (PSK).
Nama dan karya-karya sastra Umbu jarang mendapat perhatian dari para kritikus. Padahal, ia telah menulis puisi, esai, dan artikel sejak tahun 1950-an.
Baca Juga: Audre Lorde, Penyair Feminis yang Dijadikan Google Doodle Hari Ini di AS, Italia, dan Jerman
Pada 1975, Umbu Landu Paranggi tiba-tiba menghilang dari Yogyakarta. Sejumlah kerabat mengatakan bahwa Umbu pulang ke kampungnya. Namun, belakangan diketahui Umbu berada di Denpasar, Bali. Ia memutuskan bermukim di sana pada 1978.
Nama Umbu Landu Paranggi acapkali luput dari sejarah sastra Indonesia. Karyanya tak banyak dikenal lantaran ia memang jarang mempublikasikannya.
Meski demikian, sastrawan seperti Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono hingga Emha Ainun Nadjib kerap mampir menemui Umbu saat berkunjung ke Bali.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.