Baca Juga: Peringati Hari Musik Nasional, Resso Rilis 18 Playlist Lagu Indonesia
Kali ini, giliran pemerintah kolonial Jepang yang resah dengan lagu “Indonesia Raya”. Awal masa kependudukan Jepang, pemerintah memperbolehkan pemutaran lagu itu.
Namun, Jepang kemudian juga melarang pemutaran lagu kebangsaan Indonesia. Akhirnya, pada 1944 Jepang yang hampir kalah perang membentuk Panitia Lagu Kebangsaan.
Panitia ini mengubah beberapa kata dalam lirik lagu “Indonesia Raya”.
2. Musik Ngak Ngik Ngok
Pada dekade 1950, muda-mudi Indonesia menggemari ‘musik Barat’. Namun, presiden saat itu Soekarno merasa resah dengan lagu-lagu semacam itu.
Menurut proklamator Indonesia itu, musik-musik ini adalah bentuk penjajahan budaya atau imperialisme kebudayaan.
“Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi. Engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi dan penentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock’ n-rock’ n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok gila-gilaan dan lain sebagainya lagi?” kata Soekarno dalam pidato 17 Agustus 1959.
Pemerintah pun melarang pemutaran lagu-lagu barat, termasuk The Beatles dan Elvis Presley. Band Koes Bersaudara yang kerap menyanyikan ulang lagu-lagu milik musisi-musisi itu pun kena getahnya. Mereka sempat dipenjara tanpa proses pengadilan pada 29 Juni 1965.
Baca Juga: Bob Marley, Musik Reggae untuk Kebebasan dan Kemanusiaan
3. Musik Cengeng
Kepemimpinan Indonesia direbut Soeharto. Namun, bukan berarti masyarakat bisa bebas mendengar dan mencipta musik.
Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto menganggap lagu “Genjer-Genjer” sebagai lagu Partai Komunis Indonesia (PKI). Orba juga menduga anggota Gerwani, sayap organisasi PKI menyanyikan lagu ini saat menyiksa para jenderal.
Padahal, lagu ini bercerita tentang penderitaan rakyat yang kekurangan bahan pangan hingga tanaman liar genjer-genjer menjadi makanan pokok .
Tak cuma itu, pemerintah Orba juga resah dengan keberadaan lagu-lagu ‘cengeng’. Hal ini dikeluhkan terutama oleh Menteri Penerangan Harmoko. Menurutnya, lagu-lagu semacam itu mengambat pembangunan nasional.
Harmoko sampai mengharamkan lagu cengeng semacam “Hati yang Luka”.
“Stop lagu-lagu (cengeng) semacam itu,” kata Harmoko dalam perayaan ulang tahun TVRI ke-26 pada 24 Agustus 1988.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.