JAKARTA, KOMPAS.TV - Peraturan Presiden (Perpres) yang membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) mendapat penolakan dari sejumlah pihak.
Tak terkecuali dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah. Kedua ormas Islam tersebut menolak keras Perpres yang telah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.
Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini menyatakan, PBNU secara tegas menolak langkah Presiden Jokowi yang membuka izin investasi untuk industri minuman keras atau beralkohol dari skala besar hingga kecil di empat wilayah di Indonesia.
Baca Juga: MUI Jabar: Masyarakat Jabar Akan Menanggung Beban Perpres Miras
Sikap PBNU itu, lanjutnya, tak berubah sejak Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj tidak setuju terhadap investasi minuman keras di Indonesia pada tahun 2013.
"Sikap kami tetap tidak berubah sejak 2013, saat pertama kali aturan ini digulirkan pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). PBNU tetap menolak investasi minuman keras dibebaskan. Sebab Indonesia ini bukan negara sekuler," tegas Helmy seperti dikutip dari nu.or.id, Senin (1/3/2021).
Lebih lanjut ia menegaskan, Indonesia adalah negara Pancasila yang berketuhanan. Karena itu, dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah dan semua perilaku masyarakat harus berpedoman dengan nilai-nilai agama.
"Indonesia memang bukan negara agama, tetapi negara yang masyarakatnya beragama. Jadi soal investasi minuman keras ini perlu dipertimbangkan kemudaratannya," tambah Kang Helmy, sapaan akrabnya.
Jika yang menjadi pertimbangan adalah soal kearifan lokal, ia mengusulkan sebaiknya bisa dialihkan kepada produk-produk lain.
Baca Juga: Presiden Jokowi Buka Izin Investasi Miras, PPP: Itu akan Tingkatkan Kriminalitas
Dianggap seperti Bangsa Kehilangan Arah
Hal senada juga dikatakan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas mengaku kecewa dengan kebijakan Pemerintah terkait penetapan industri miras dalam kategori usaha terbuka.
Anwar Abbas menilai bahwa kebijakan tersebut tidak lagi melihat aspek menciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat luas, tetapi hanya memperhitungkan aspek investasi semata.
“Saya melihat dengan adanya kebijakan ini, tampak sekali bahwa manusia dan bangsa ini telah dilihat dan diposisikan oleh pemerintah dan dunia usaha sebagai objek yang bisa dieksploitasi demi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pemerintah dan dunia usaha,” katanya.
Menurut Anwar, pedoman Pancasila dan UUD 1945 sebagai panduan bernegara kini hanya menjadi hiasan saja, tapi dalam kebijakan pedoman sebagai karakter dan jatidiri kebangsaan itu ditinggalkan.
“Dengan kehadiran kebijakan ini, saya melihat bangsa ini sekarang seperti bangsa yang telah kehilangan arah karena tidak lagi jelas oleh kita apa yang menjadi pegangan bagi pemerintah dalam mengelola negara ini,” imbuhnya.
Baca Juga: Jokowi Teken Aturan Investasi, Peneliti: Miras Lebih Berbahaya daripada Beberapa Narkoba
Adapun sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras) atau beralkohol dari skala besar hingga kecil. Syaratnya, investasi hanya dilakukan di daerah tertentu.
Ketentuan ini tertuang di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021. Aturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sementara persyaratan, untuk penanaman modal baru dapat dilakukan pada Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat.
Bila penanaman modal dilakukan di luar daerah tersebut, maka harus mendapat ketetapan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur.
Baca Juga: Wakil Ketua MPR Tolak Perpres Miras: Lebih Besar Kerusakannya daripada Manfaatnya
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.