Sementara itu, kata Fahmi, pengguna usia dewasa menurut pengamatannya bisa lebih bebas berpendapat lantaran adanya polarisasi yang mewarnai interaksi antar pengguna media sosial di Indonesia.
"Polarisasi itu bisa karena politik, bisa karena agama, dan biasanya orang kalau sudah merasa benar dengan pendiriannya itu udah bisa ngomong apa pun itu dengan sesama saudaranya, yang berteman pun bisa akhirnya musuh-musuhan," paparnya.
Baca Juga: Viral Sunmori Moge Terobos Ring 1 Istana, Paspampres: Untung Ditendang Tidak Ditembak
Buzzer
Berkaitan dengan polarisasi tersebut, Fahri mengatakan bahwa buzzer memiliki peran penting dalam membentuk polarisasi di media soaial Indonesia.
"Buzzer, kemudian saling perang tentang hoax, itu adalah keyword-keyword yang langsung muncul ketika kita mendengar media sosial di Indonesia. Bukan entrepreneurship, start-up, Big Data, terus IoT (Internet of Things), itu kan keilmuan tuh," kata Fahmi.
Selain itu, buzzer juga mendorong budaya akun anonim sehingga pemilik akun merasa bebas untuk berbicara apapun.
Hal tersebut, lanjut Fahmi, dapat dilihat di komentar warganet Indonesia di akun Instagram Microsoft usai laporan DCI dirilis.
Menurutnya, buruknya tingkat kesopanan warganet Indonesia juga disebabkan tidak adanya edukasi mengetai net-tiquette (kesopanan berinternet.
“Yang ada adalah didikan menjadi buzzer. Kita dikasih contoh bagaimana berkomunikasi ala buzzer, ala polarisasi, di mana di situ kita sering bermusuhan," papar dia.
Baca Juga: Model Cantik Ini Dijuluki Barbie Kejahatan Usai Lakukan Penipuan, Bahkan Mantan Pacarnya Jadi Korban
Online bullying
Laporan DCI juga menyebutkan bahwa 5 dari 10 mengaku pernah terlibat online bullying atau perundungan online. Sementara 19 persen mengaku menjadi korban perundungan onlone.
Menurut Fahmi, hal tersebut terjadi karena tidak adanya edukasi terkait perundungan yang terintegrasi dengan kurikulum pendidikan formal Indonesia.
Ia mengatakan bahwa pelajaran tentang bullying bisa menjadi bekal kepada individu tentang bagaimana harus bersikap atau membawa diri dalam pergaulan di media sosial.
Fahri juga mengatakan bahwa laporan tersebut harapannya bisa menjadi masukan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk memasukkan materi tentang digital citizenship (kewarganegaraan digital) yang mencantumkan net-tiquette di kurikulum pendidikan formal Indonesia.
“Jadi masukan itu buat Kemdikbud, khususnya, menurut saya. Karena ini urusannya sama pendidikan," kata Fahmi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.