JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Jokowi meminta DPR merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Senin (15/2/2021). Namun, UU ITE sebelumnya pernah menerima revisi pada 2016.
DPR menyepakati revisi UU ITE itu pada 27 Oktober 2016. Revisi itu menghasilkan setidaknya 7 poin pengubahan aturan.
Berikut 7 aturan baru dalam revisi UU ITE 2016.
Baca Juga: Catat! Ini 5 Masalah UU ITE yang Wajib Segera Direvisi
1. Melaksanakan Putusan Mahkamah Konsitusi
Revisi UU ITE ini melakukan pengubahan sesuai putusan MK yang mengabulkan judicial review sebagaian kalangan masyarakat. UU ITE 2016 mengubah ketentuan Pasal 31 ayat 4 tentang tata cara penyadapan.
Pasal itu mengatur secara lebih jelas tata cara penyadapan. Sebelumnya, pasal itu mengamanatkan Peraturan Pemerintah mengatur tata cara penyadapan itu.
Revisi ini juga mengubah Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 agar memberi kejelasan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat menjadi alat bukti hukum yang sah.
2. Perubahan Pasal 27 ayat 3
Revisi ini menambahkan 3 perubahan dalam pasal yang mengatur soal penghinaan atau pencemaran nama baik. Perubahan pertama adalah penambahan istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik". Aturan itu bermaksud untuk menghindari multitafsir.
Kedua, revisi ini menegaskan tindakan yang dipidana mengacu pada ketentuan KUHP soal pencemaran nama baik dan fitnah.
Ketiga, revisi ini memperjelas bahwa pidana ini adalah delik aduan, bukan delik umum yang tak perlu pelaporan.
3. Pengurangan Hukuman
Revisi ini mengurangi hukuman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dari penjara paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp1 miliar menjadi paling banyak Rp750 juta.
Hukuman pidana ancaman kekerasan atau intimidasi di dunia maya juga berubah dari pidana paling lama penjara 12 tahun menjadi paling lama 4 tahun serta perubahan denda dari paling banyak Rp2 miliar menjadi paling banyak Rp750 juta.
Baca Juga: Banyak Makan Korban, YLBHI Minta Keinginan Jokowi Revisi UU ITE Bukan Retorika Politik
4. Sinkronisasi KUHAP
Revisi ini bertujuan untuk melakukan sinkronisasi dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait prosedur penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan. Dengan itu, Pasal 43 ayat 3 dan ayat 5 UU ITE mengalami pengubahan.
Berbagai prosedur pengadilan itu sebelumnya mesti mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
5. Memperkuat Penyididik PNS
Revisi ini memberi kewenangan tambahan bagi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dalam Pasal 43 ayat 5. Dengan aturan itu, PPNS dapat membatasi atau memutus akses terkait tindak pidana teknologi informasi. PPNS juga dapat meminta informasi dari Penyelanggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana tersebut.
6. Memperkuat Peran Pemerintah
Pasal 40 ayat 2 revisi UU ITE memberi kewenangan tambahan bagi pemerintah. Pemerintah kini wajib mencegah penyebaran informasi elektronik terlarang dan berwenang memutus atau memerintahkan Penyelangga Sistem Elektronik untuk memutus akses pada informasi elektronik yang melanggar hukum.
7. Aturan Hak Dilupakan
Aturan ini memperkenalkan konsep “the right to be forgotten” atau hak untuk dilupakan. Hal ini tertuang dalam Pasal 26.
Aturan ini mewajibkan seluruh Penyelanggara Sistem Elektronik untuk menghapus informasi atau dokumen elektronik yang tidak relevan. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik juga wajib menyiapkan mekanisme penghapusan itu.
Baca Juga: Daftar Pasal Karet UU ITE yang Perlu Segera Direvisi Menurut SAFEnet
Namun, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) dan LBH Pers menganggap revisi UU ITE 2016 ini setengah hati melindungi kebebasan berekspresi.
"Dari awal pemerintah memang memiliki banyak kepentingan mengenai penegakan hukum ITE terkait dengan kebebasan ekspresi. Perubahan yang dilakukan terkait UU ITE ini hanyalah melegitimasi kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat Indonesia dikekang dengan menambahkan kewenangan-kewenangan baru pemerintah,” tulis ICJR dan LBH Pers dalam rilis pers pada Kamis (27/10/2016).
ICJR dan LBH Pers menyampaikan lima poin pendapat terkait revisi UU ITE ini. Pertama, mereka meminta pemerintah seharusnya mencabut pasal 27 ayat 3 soal pencemaran nama baik.
LBH Pers dan ICJR menganggap pasal itu adalah pasal karet, multitafsir dan berpotensi disalahgunakan. Pencemaran nama baik juga dianggap sudah diatur dalam KUHP.
Ada juga potensi sensor informasi di media dan kewenangan aparat yang berlebih. Pasal 43 ayat 3 revisi UU ITE 2016 memudahkan penggeledahan dan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 40 juga memberi wewenang tambahan bagi pemerintah untuk memblokir dan memutus akses pada konten informasi dan dokumen elektronik dengan “muatan yang dilarang.
Pasal 26 soal hak dilupakan juga berpotensi menjadi alat sensor berita dan media.
Baca Juga: Aktivis Haris Azhar : Bukan Hanya UU ITE, Kebijakan Pemidanaan Pun Harus Direvisi
“Pasal ini akan menjadi problem baru, ketentuan ini menjadi alat ganda pemerintah di samping adanya kewenangan penapisan konten. Ketentuan ini bisa berakibat negatif karena dapat menjadi alat baru untuk melakukan sensor atas berita, berita publikasi media dan jurnalis di masa lalu," kata ICJR.
Terakhir, pasal 29 yang mengatur soal perundungan di dunia siber (cyberbullying) juga berpotensi menimbulkan overkriminalisasi.
“Revisi UU ITE justru melompat jauh, soalnya sampai saat ini Indonesia belum memiliki defenisi hukum yang baku mengenai perundungan di dunia nyata, namun revisi UU ITE, malah memaksa memberikan pengertian baku mengenai perundungan di dunia maya,” jelas ICJR
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.