"Politik uang yang dilakukan terus-menerus akan merusak budaya demokrasi di Indonesia," kata Agus.
Pasalnya, politik uang akan memengaruhi masyarakat untuk memilih berdasarkan transaksional dengan manfaat yang subyektif, dan untuk kepentingan sesaat.
"(Masyarakat) tidak melihat kepada visi-misinya pembangunan jangka panjang," imbuhnya.
Yang terakhir adalah pelanggaran netralitas ASN. Pilkada serentak lalu, kata Agus, diwarnai dengan terindikasinya 21 kasus pelanggaran netralitas ASN.
Ketidaknetralan ASN ini bisa berdampak jangka panjang. Karena akan memengaruhi pola manajemen ASN yang tidak didasarkan profesionalisme, melainkan kepada kedekatan personal terhadap pejabat.
"Yang berarti politisasi ASN atau PNS," sebut Agus.
Baca Juga: 580 ASN Dijatuhi Sanksi karena Langgar Netralitas di Tahapan Pilkada 2020
Agus berpandangan, kondisi demokrasi fenomena pilkada yang terus berulang ini perlu dikaji lebih lanjut.
Yakni mempertanyakan, bagaimana peran kekuatan politik yang ada dalam pilkada untuk dapat terus-menerus memperkuat peran demokrasi di Indonesia guna mencapai tujuannya?
Kemudian, apakah partai politik saat ini tidak lagi memiliki kekuatan ideologis, sehingga masyarakat tidak lagi teridentifikasi kepada warna partai politik tertentu dikaitkan dengan aspirasinya?
Dan apakah masyarakat lebih mempertimbangkan kepentingan jangka pendek dengan melakukan politik uang dan mengedepankan figur serta politik oligarki karena dianggap dapat meraih kekuatan maksimal untuk pemenangan pilkada?
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.