JAKARTA, KOMPAS.TV - Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) membalas pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik dan masukan terhadap pemerintah.
Pernyataan Jokowi tersebut memang layak mendapat apresiasi. Namun, masyarakat justru takut dengan regulasi yang mengancam kebebasan berpendapat.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menilai, saat ini masyarakat memilih untuk menahan diri untuk tidak menyampaikan kritik.
Pasalnya, ada regulasi yang mengancam kebebasan berpendapat, salah satunya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca Juga: Jokowi Minta Masyarakat Aktif Kritik, Warganet Sindir Soal UU ITE
"Karena kemarin ramai di media sosial, secara spesifik yang menjadi momok dari 'efek jera' adalah UU ITE, sebetulnya itu menjadi hal yang membuat orang memilih untuk tidak berpendapat," ujar Damar, dikutip dari Kompas.com, Selasa (9/2/2021).
SAFEnet memetakan sejumlah regulasi yang membatasi kemerdekaan berekspresi di Indonesia, antara lain UU ITE, Permenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Situs Internet Bermuatan Negatif, UU Penyadapan, hingga UU Penyiaran.
Koalisi masyarakat sipil juga melaporkan, dalam kurun 2016-2020 UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan conviction rate atau tingkat penguhukuman 96,8 persen (744 perkara).
Sedangkan, tingkat pemenjaraan dari aturan ini mencapai 88 persen (676 perkara).
Kemudian, Indeks Demokrasi Indonesia pada 2020 dilaporkan menurun. Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) mencatatkan Indonesia hanya mendapat skor 5,59 untuk kebebasan sipil.
Tak sedikit pihak yang menganggap penilaian ini merupakan perolehan terendah Indonesia dalam belasan tahun terakhir ini, terutama mengenai kebebasan sipil.
Terkait dengan imbauan Jokowi, Damar mengatakan, masyarakat sebetulnya bukan tak mau menyampaikan kritik
Namun, ada ancaman regulasi yang justru membuat masyarakat tertekan dan tidak mau menyampaikan kritiknya.
"Masalah yang saya rasa paling mengemuka adalah masyarakat ditekan rasa takut atau ketakutan untuk berpendapat secara bebas. Yang pemicunya adalah 'efek jeri', melihat banyaknya aturan regulasi yang sangat membatasi kebebasan berekspresi kita," terang Damar.
Damar menegaskan, pada dasarnya Presiden wajib memberikan jaminan kepada masyarakat untuk menyampaikan kritik.
Namun demikian, pernyataan Presiden justru kontradiktif dengan adanya sederet regulasi yang mengancam kemerdekaan berekspresi masyarakat.
"Pernyataan Pak Presiden dilematik," tegas dia.
Baca Juga: Hari Pers Nasional, Seskab: Pemerintah Butuh Kritik Terbuka, Pedas, dan Keras
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah.
Pada saat bersamaan, ia juga meminta penyelenggara layanan publik terus meningkatkan kinerja. Hal ini Jokowi sampaikan dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021).
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi, melalui tayangan YouTube Ombudsman RI, Senin.
Jokowi menyadari bahwa masih banyak kinerja pemerintah yang perlu diperbaiki, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19.
Oleh karenanya, ia berjanji untuk melakukan evaluasi, salah satunya dengan berdasar pada catatan-catatan yang disampaikan Ombudsman RI.
"Catatan ini sangat penting untuk mendorong peningkatan standar kualitas pelayanan publik di masa yang akan datang," ujarnya.
Pernyataan Jokowi tersebut juga mengundang reaksi warganet. Mereka ramai membicarakan UU ITE karena cemas penyampaian kritik pada pemerintah akan berujung pidana.
Warganet belum lupa dengan kasus Dokter Richard Lee yang dilaporkan dengan pasal UU ITE karena mengkritik Kartika Putra. Baru-baru ini, Safenet juga menerima laporan kriminalisasi aktivis lingkungan Marco Wijayakusuma.
Kasus terakhir itu menjerat Marco karena kritiknya atas pengambilan pasir Pulau Bangka.
“Spirit UU ITE seharusnya untuk menciptakan rasa aman bagi semua orang di media daring, tapi kini UU ITE banyak memakan korban. Pelapor punya power dan terlapor tidak punya kekuatan seperti orang awam juga aktivis," kata Treviliana Eka Putri, Manager Riset Center For Digital Society Fisipol UGM.
Baca Juga: Jokowi: Masyarakat Harus Lebih Aktif Menyampaikan Kritik
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.