JAKARTA, KOMPAS TV - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian kepada Arief Budiman dari jabatannya sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Keputusan tersebut disampaikan dalam sidang putusan Nomor 123-PKE-DKPP/X/2020 yang digelar pada Rabu (13/1/2021).
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia kepada teradu Arief Budiman sejak putusan ini dibacakan,” kata Ketua DKPP, Muhammad, dalam sidang pembacaan putusan yang digelar secara daring tersebut.
Baca Juga: Ketua KPU Arief Budiman Dirawat di RSPAD, Ilham Saputra Jadi Plh
Selain itu, Muhammad mengatakan, DKPP juga memrintahkan kepada KPU RI untuk melaksanakan putusan ini paling lama 7 hari sejak putusan dibacakan. Terakhir, memerintahkan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan putusan ini.
Anggota DKPP, Didik Suprianto, menjelaskan Ketua KPU Arief Budiman selaku penyelenggara pemilu dilaporkan oleh seeorang bernama Jufri yang beralamt di Bandarlampung terkait pelanggaran kode etik.
Setelah menimbang keterangan dan jawaban para pihak terdiri atas saksi dan ahli, termasuk bukti, dokumen serta fakta yang terungkap di persidangan, DKPP berpendapat bahwa Arief Budiman telah menyalahgunakan wewenangnya.
Itu karena Arief mendampingi Evi Novida Ginting Manik mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta, setelah diberhentikan sebagai Komisioner KPU oleh DKPP pada 18 Maret 2020 lalu.
Baca Juga: Jokowi Kalah di Pengadilan, Gugatan Evi Novida Ginting Dikabulkan, Apa Selanjutnya?
Dalam keterangan di persidangan, kata Didik, Arief menjelaskan bahwa kedatangannya di PTUN pada 17 April 2020 menjelang makan siang, tidak dimaksudkan untuk menemani Evi Novida Ginting Manik untuk mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.
Saat itu, Arief mengaku hadir di PTUN Jakarta sekadar memberikan dukungan moral, simpati, dan empati yang didasaarkan pada rasa kemanusiaan. Sebab, Arief mengaku telah lama bersahabat dengan Evi.
Terlebih, Arief beralsan pada hari tersebut dirinya sedang work from home atau WFH. Karena itu, kedatangannya di PTUN Jakarta tidak dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPU.
Menanggapi alasan tersebut, Didik mengatakan, pihaknya memahami ikatan emosional tersebut karena terbangun dari kesamaan profesi dan merintis karier dari bawah sebagai penyelenggara pemilu, hingga akhirnya keduanya sama-sama terpilih dan duduk sebagai anggota KPU periode 2017-2022.
Baca Juga: Evi Novida Hadir di Rapat Kerja DPR Setelah Kembali Aktif Jadi Komisioner KPU
Namun demikian, ikatan emosional tersebut tidak sepatutnya mematikan kode etik dalam melakoni aktivitas individualnya.
“Sebab, di dalam teradu melekat jabatan Ketua KPU merangkap anggota KPU,” ujar Didik.
Dalam kedudukannya sebagai ketua dan anggota KPU, kata Didik, seharusnya Arief dapat menempatkan diri pada tempat dan waktu yang tepat di ruang publik.
Juga dan tidak terjebak dalam tindakan dan perbuatan yang bersifat personal emosional yang menyeret lembaga hingga berimplikasi pada kesan pembangkangan, tidak menghormati keputusan DKPP Nomor 317 yang bersifat final dan mengikat.
Baca Juga: Kontak Erat dengan Arief Budiman, Komisioner KPU Pramono Ikut Terinfeksi Covid-19
Selain itu, sikap Arief Budiman juga bertentangan dengan kode etik. Menurut Didik, DKPP menilai sikap Arief Budiman tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang secara negatif.
“Karena jabatannya tidak terpisahkan dan tetap senantiasa melekat pada setiap perbuatan teradu di ruang publik,” ucap Didik.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.