JAKARTA, KOMPAS.TV – Kasus kekerasan fisik dan mental terhadap perempuan masih terjadi di kalangan remaja dan dewasa.
Hal itu sebagaimana terlaporkan dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA).
Baca Juga: Rektor Uhamka Kukuhkan Prima Gusti Yanti Sebagai Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Data (SIMPONI PPA) menyebutkan, dalam kurun waktu 1 Januari hingga 31 Juli 2020 terdapat 4.615 kasus kekerasan yang terbagi atas 3.296 kasus kekerasan terhadap korban perempuan dan 1.319 kasus kekerasan terhadap laki-laki.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Lemlitbang) Uhamka Suswandari mengatakan, dalam kekerasan itu yang paling banyak sebagai korban adalah perempuan.
Namun demikian, menurut Suswandari, bukan berarti laki-laki tidak pernah menjadi korban dan dalam hal ini bukan pula bermaksud untuk menghakimi laki-laki.
“Dalam berinteraksi, kita tidak boleh melanggar koridor. Kita bisa menjadi manusia yang damai dan harmonis,” ujar Suswandari, dalam keterangannya, Minggu (29/11/2020), saat menjadi narasumber pada seminar nasional yang dihadiri 500 peserta daring.
Seminar yang digelar Uhamka bersama United Nations Development Programme (UNDP) itu menjelaskan, dengan adanya perdamaian antara perempuan dan laki-laki maka dalam bersosial akan nyaman serta aman, sehingga tak lagi bersedih dan tetap semangat belajar.
Suswandari melanjutkan, bersama remaja generasi milineal tengah mengkampanyekan untuk mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Termasuk bersama UNDP di berbagai negara berkampanye selama 16 hari tanpa kekerasan terhitung sejak 25 November hingga 10 Desember 2020.
“Kita harus bisa berinteraksi antara laki-laki dan perempuan dengan cerdas, sehat, kreatif dan tetap pada koridor aturan sosial berdasarkan ketentuan agama,” tutur Suswandari
Rektor Uhamka Gunawan Suryoputro mengatakan, pihaknya berkomitmen menjadikan kampus tanpa kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Karena perempuan dan anak remaja itu aset penting dalam pembangunan dan generasi muda penentu masa depan.
“Perempuan juga dijadikan sebagai subjek dalam konten komersial maupun pornografi, maka sepantasnyalah kita harus melindungi perempuan dari kekerasan,” kata Gunawan.
Narasumber lainnya, Psikolog Klinis Uhamka Nurul Adiningtyas menyatakan, kekerasan pada remaja kerap terjadi dalam situasi pacaran.
Baca Juga: Mau Langsung Nikah, Ria Ricis Tegaskan Ogah Diajak Pacaran
Di antaranya kekerasan fisik seperti menendang dan memukul yang berawal dari permasalahan kecil.
Selain itu, kekerasan agresi psikologis yaitu dengan cara mengendalikan diri oleh orang lain.
Lalu kekerasan seksual yaitu mencoba memaksa pasangan untuk berhubungan fisik dan stalking atau meguntit yang mengakibatkan kerugian pada diri seseorang.
“Kekerasan berkelanjutan menyebakan dampak yang merugikan bagi korban bisa depresi, perilaku tidak sehat seperti menggunakan tembakau, narkoba, dan alkohol,” kata Nurul.
Nurul menambahkan, dampak lainnya yang muncul adalah perilaku anti sosial seperti berbohong, mencuri, menindas, memukul, bahkan bisa terjadi perilaku ingin bunuh diri.
“Kekerasan dalam pacaran dapat berdampak berkepanjangan di masa depan seperti halnya kekerasan di rumah tangga. Dalam berpacaran harus menghormati privasi pasangan, memberikan perhatian yang wajar dan yang paling penting adalah memberikan kesempatan kepada pasangan untuk mengembangkan diri kepada hal yang positif serta berani mengatakan tidak untuk melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan,” ungkapnya, menegaskan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.