Kompas TV nasional peristiwa

Buruh Temukan 8 Poin yang Mengancam Hak Pekerja di UU Cipta Kerja, Berikut Rinciannya

Kompas.tv - 7 Oktober 2020, 10:05 WIB
buruh-temukan-8-poin-yang-mengancam-hak-pekerja-di-uu-cipta-kerja-berikut-rinciannya
Demonstrasi buruh tolak RUU Cipta Kerja (Sumber: Kompas.com)
Penulis : Tito Dirhantoro

JAKARTA, KOMPAS TV - Undang-undang Cipta Kerja baru saja disahkan DPR dan Pemerintah pada Senin, 5 oktober 2020. Undang-undang setebal 1.028 halaman itu memuat 15 bab yang terdiri atas 174 pasal.

Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) lantas mempelajari dan mengkaji ihwal Bab Ketenagakerjaan di undang-undang tersebut. Hasilnya, ditemukan 8 poin dalam yang dinilai berpotensi mengancam hak-hak buruh.

“Setelah membaca undang-undang nir-partisipasi tersebut, kami menemukan setidaknya 8 bentuk serangan terhadap hak-hak buruh yang dilegitimasi secara hukum," kata Ketua Umum FBLP Jumisih dikutip dari Kompas.com, Selasa (6/10/2020).

Baca Juga: Tolak UU Cipta Kerja, Besok Buruh bersama Mahasiswa di Semarang Demonstrasi ke Gubernur dan DPRD

Dilansir dari Kompas.com, adapun 8 poin yang menjadi sorotan dalam UU Cipta Kerja tersebut, yakni:

1. Masifnya Kerja Kontrak

Dalam Pasal 59 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi "tidak terlalu lama" bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut.

Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, pengaturan mengenai perpanjangan PKWT dialihkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Sementara itu, pelanggaran penerapan kerja kontrak selama ini cenderung tidak pernah diusut secara serius oleh pemerintah.

Baca Juga: Demonstrasi Tolak UU Cipta Kerja di Banten Berakhir Ricuh, Polisi dan Mahasiswa Terluka

Dengan demikian, PP yang akan dibentuk ke depan sangat berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.

2. Outsourcing di Semua Jenis Pekerjaan

Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.

Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal, praktik kerja outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan hak-hak buruh.

3. Jam Lembur Semakin Eksploitatif

Pada Pasal 78, batasan maksimal jam lembur dari awalnya maksimal tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.

Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Baca Juga: UU Cipta Kerja, Indef: Masalah Tenaga Kerja di Indonesia Belum Krusial

4. Menghapus Hak Istirahat dan Cuti

Berdasarkan Pasal 79, hak istirahat selama dua hari kepada pekerja yang bekerja dalam lima hari seminggu dihapus.

Hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal enam tahun juga dihapus oleh UU Cipta Kerja.

5. Gubernur Tak Wajib Tetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota

Berdasarkan Pasal 88C UU, disebutkan bahwa gubernur “dapat” menetapkan upah minimum kabupaten/kota.

Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi gubernur untuk menetapkan UMK.
Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai “jaring pengaman sosial” terancam.

Ketentuan pengupahan yang termuat dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juga diadopsi oleh UU Cipta Kerja yang mengakibatkan semakin kokohnya cengkeraman mekanisme pasar dalam penentuan upah.

Baca Juga: Said Iqbal Sebut DPR Berkhianat Soal UU Cipta Kerja

6. Peran Negara Mengawasi Praktik PHK Sepihak Diminimalisasi

Sebelumnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh.

Hal ini, kendati sering dilanggar, penting guna memastikan terpenuhinya hak-hak buruh saat terjadi PHK. Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan ini.

7. Berkurangnya Hak Pesangon

Berkurangnya hak itu karena penggabungan atau pengambilalihan perusahaan, perusahaan tutup, sakit berkepanjangan, dan meninggal dunia.

Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan berhak atas pesangon sebanyak dua kali lipat dari perhitungan berdasarkan masa kerja, kini dihapus UU Cipta Kerja.

8. Perusahaan Makin Mudah Melakukan PHK Sepihak

Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa PHK kepada pekerja yang mangkir atau melanggar peraturan perusahaan diatur syarat yang cukup ketat.

Baca Juga: 10 Orang Provokator Demo Tolak UU Cipta Kerja di DPRD Jabar Ditangkap, Identitasnya Bukan Buruh

Namun, ketentuan ini dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan yang tidak obyektif.

Hal ini juga membuat pengurus dan anggota serikat buruh sangat potensial untuk mengalami PHK sepihak oleh perusahaan.

Berdasarkan temuan tersebut, FBLP mendesak agar UU Cipta Kerja dibatalkan.

"UU Cipta Kerja, sebagaimana telah mendapatkan kritikan sebelumnya, juga merupakan serangan pada masyarakat luas, petani, nelayan, masyarakat adat, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, pelajar, mahasiswa, dan lainnya. Karena itu, kami menyatakan sikap, batalkan UU Cipta Kerja sekarang juga," kata Jumisih.

Baca Juga: Buruh dan Organisasi Pendidikan Siap Gugat UU Cipta Kerja ke MK




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x