JAKARTA, KOMPAS.TV - DPR dan Pemerintah akhirnya mengesahkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada rapat paripurna, Senin (5/10/2020).
Pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja ini diketok di tengah banyaknya kritikan dan sorotan berbagai pihak.
Dari sembilan fraksi di DPR RI, sebanyak tujuh di antaranya menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja. Sementara hanya dua fraksi yang menolak pengesahan itu, yaitu fraksi PKS dan Partai Demokrat.
Baca Juga: Berikut Poin-Poin Penting Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Jadi Kontroversi
Sejak pembahasan, RUU Cipta Kerja telah menuai sejumlah kontroversi.
Di antara deretan poin kontrovesi adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Ini dinilai membuat upah pekerja menjadi lebih rendah.
Selain itu, poin-poin lainnya yang mendapat banyak sorotan adalah para pekerja kini berpotensi menjadi pekerja kontrak seumur hidup dan rentan PHK, serta jam istrihat yang lebih sedikit.
Pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja ini tentu menambah daftar UU kontroversial era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Berdasarkan catatan Kompas.com, setidaknya ada tiga UU kontroversial di era pemerintahan Jokowi.
Baca Juga: Detik-Detik Fraksi Demokrat Walk Out dari Rapat Paripurna Pengesahan RUU Cipta Kerja
Berikut 3 UU kontroversial era Jokowi:
UU KPK
Kontroversi pertama dimulai beberapa minggu sebelum Jokowi dilantik untuk periode keduanya, yaitu ketika revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disahkan pada 17 September 2019.
Tak ada satu pun partai di yang duduk di kursi wakil rakyat menolak pengesahan revisi UU KPK ini.
Pengesahan revisi UU KPK ini pun memantik aksi protes dan demo besar di sejumlah daerah.
Mereka menilai revisi tersebut berpotensi melemahkan KPK yang selama ini berada di garda depan dalam pemberantasan korupsi.
Sejumlah poin kontroversi dalam revisi UU KPK adalah sebagai berikut:
Pertama, kedudukan KPK berada pada cabang eksekutif. Padahal status KPK sebelumnya merupakan lembaga ad hoc independen.
Perubahan kedudukan menjadi lembaga pemerintah itu berdampak pada status kepegawaian KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Kedua, pembentukan Dewan Pengawas KPK yang tertuang dalam tujuh pasal khusus, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G.
Selain mengawasi tugas dan wewenang KPK, Dewan Pengawas juga berwenang dalam beberapa hal, di antaranya, memberikan izin atau tidak dalam penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Ketiga, izin menyadap. Dengan adanya revisi tersebut, KPK tak lagi bebas melakukan penyadapan terhadap terduga tindak pidana korupsi, tapi harus izin Dewan Pengawas.
Selain itu, penyadapan yang telah selesai harus dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK dan Dewan Pengawas maksimal 14 hari.
Keempat, penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam waktu satu tahun.
Kelima, asal penyelidik dan penyidik. Dalam revisi itu, penyelidik harus berasal dari Kepolisian RI, sementara penyidik adalah pegawai yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
Baca Juga: Presiden Jokowi Siapkan 3 Perpres Terkait UU KPK
UU Minerba
Selain revisi UU KPK, yang menuai kontroversi kedua yakni regulasi terkait pertambangan mineral dan batubara (Minerba).
RUU Minerba disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba pada 13 Mei 2020.
Partai Demokrat menjadi satu-satunya fraksi yang menolak UU Minerba itu.
Ada sejumlah poin di UU Minerba tersebut yang dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 169A terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan.
Melalui pasal tersebut, pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), masing-masing paling lama selama 10 tahun.
Penghapusan Pasal 165 soal sanksi bagi pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), IUPK, dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) juga dinilai bertentangan dengan UU Minerba.
Selain itu, penghapusan Pasal 45 UU Nomor 4 Tahun 2009 juga memungkinkan pemegang IUP untuk tidak melaporkan hasil minerba dari kegiatan eksploarasi dan studi kelayakan.
Baca Juga: Pasal RUU Minerba Bermasalah, Jatam: Hanya Untungkan Korporasi dan Permudah Korupsi
UU Mahkamah Konstitusi
Pada 1 September 2020, DPR juga mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi UU MK dan disetujui oleh seluruh fraksi.
Dikutip dari Kompas.com, 14 April 2020, beberapa poin yang diubah dalam UU MK adalah masa jabatan hakim MK yang sebelumnya berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya, dihapuskan.
Aturan tersebut diganti melalui Pasal 23 yang menyatakan hakim MK dapat diberhentikan dengan hormat apabila berusia 70 tahun.
Selain itu, dalam Pasal 15 juga mengatur beberapa syarat untuk menjadi hakim MK, di antaranya adalah usia minimum hakim MK adalah 60 tahun.
Padahal, dalam UU MK sebelumnya, usia minimum hakim MK adalah 47 tahun dengan usia maksimal 65 tahun.
Baca Juga: Revisi UU MK, Hadiah Presiden Jokowi dan DPR Untuk Hakim Konstitusi? – Opini Budiman Eps. 22
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.