JAKARTA, KOMPAS.TV - DPR resmi mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada rapat paripurna yang digelar hari ini, Senin (5/10/2020).
"Berdasarkan tata tertib Pasal 312 dan Pasal 313 mengacu pada pasal 64 yang disampaikan tadi, maka pimpinan dapat mengambil (keputusan) berdasarkan pandangan-pandangan fraksi di dalam rapat paripurna. Bisa disepakati?" kata pimpinan sidang paripurna DPR RI Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang telah memegang palu sidang, Senin (5/10/2020).
"Setuju," sahut beberapa anggota DPR.
Setelah tidak suara penolakan, Azis pun mengetuk palu sidang sebanyak tiga kali, dan RUU Cipta Kerja pun disahkan menjadi undang-undang.
Sebelum mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang, Azis telah membacakan pandangan fraksi yang menyatakan sikapnya.
Tercatat, hanya fraksi PKS dan Partai Demokrat yang menolak disahkannya UU Cipta Kerja ini.
"Baleg bersama pemerintah dan DPD telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali yakni 2 kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan 6 kali rapat timus/timsin yang dilakukan mulai Senin sampai Minggu, dimulai pagi hingga malam dini hari," ujar Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agus.
"Bahkan masa reses tetap melakukan rapat baik di dalam maupun luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," lanjutnya.
Baca Juga: Mengenal Omnibus Law RUU Cipta Kerja: Proses Cepat, Suara Rakyat Diabaikan
Pengesahan ini tetap dilakukan meskipun banyak gelaran aksi protes yang menolak RUU Omnibus Law yang dilakukan oleh sejumlah serikat buruh, mahasiswa, hingga koalisi masyarakat sipil.
Massa semakin geram karena RUU Cipta Kerja yang dibahas oleh DPR dan pemerintah ini dinilai pembahasannya terlalu dikebut dan disahkan secara maraton dan kilat.
Tak hanya itu, tagar #MosiTidakPercaya dan #TolakOmnibusLaw hingga kini masih menduduki puncak trending di twitter.
Dengan agenda pengesahan ini maka persetujuan RUU Cipta Kerja untuk menjadi UU Cipta Kerja telah berakhir.
Baca Juga: Kapolri Terbitkan Telegram Lawan Penolakan RUU Cipta Kerja
Rapat paripurna ini dihadiri oleh sejumlah perwakilan pemerintahan Presiden Jokowi di antaranya: Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani.
RUU Cipta Kerja merupakan salah satu usul pemerintah yang ertama kali dibahas di DPR pada 2 April 2020 usai Presiden Jokowi mengirimkan surat dan draft awal pada 7 Februari.
Dilansir dari kompas.com, berikut sejumlah sorotan terkait UU Cipta Kerja yang banyak menuai protes masyarakat :
1. Penghapusan upah minimum
Salah satu poin yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah.
Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum. Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota. Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH.
2. Jam lembur lebih lama
Dalam draft omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu. Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.
3. Kontrak seumur hidup dan rentan PHK
Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61 mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Sementara, Pasal 61A menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.
Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi. Bahkan, pengusaha diniali bisa mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.
4. Pemotongan waktu istirahat
Pada Pasal 79 ayat 2 poin b dikatakan waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Selain itu, dalam ayat 5, RUU ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.
5. Mempermudah perekrutan TKA
Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) merupakan salah satu pasal yang paling ditentang serikat pekerja. Pasal tersebut akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Pengesahan RUU Omnibus Law akan mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.