JAKARTA, KOMPAS.TV - Telegram Kapolri Jenderal Idham Azis yang mengeluarkan perintah larangan unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja dikritik oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Perintah larangan unjuk rasa tersebut terdapat pada poin pertama dari 12 poin perintah dalam telegram Kapolri.
Yakni, "Melaksanakan fungsi intelijen dan deteksi dini guna mencegah terjadinya unjuk rasa dan mogok kerja yang dapat menimbulkan aksi anarkistis dan konflik sosial."
Dalam poin tersebut, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, Polri tidak memiliki hak melarang unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja.
"Polri tidak punya hak untuk mencegah unjuk rasa," kata Isnur dalam pernyataan tertulisnya, Senin (5/10/2020), dikutip dari Kompas.com.
Menurutnya berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2020 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Polri justru bertanggung jawab memberi pengamanan terhadap peserta unjuk rasa.
Begitupula di poin ketiga, yang tertulis perintah, "Mencegah, meredam dan mengalihkan aksi unjuk rasa guna mencegah penyebaran Covid-19."
Menurut Isnur, perintah tersebut diskriminatif. Karena dua aksi penolakan RUU Cipta Kerja sebelumnya tidak menimbulkan klaster baru penyebaran Covid-19.
Sementara banyak titik keramaian lain yang mengabaikan protokol kesehatan. Seperti perusahaan, pusat perbelanjaan, hingga bandara.
Baca Juga: Ketok Palu, DPR Sahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja Jadi Undang-Undang
Poin perintah berikutnya yang disoroti YLBI adalah, poin kelima. Tertulis, "Melakukan patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi Covid-19."
Kemudian poin keenam, "Lakukan kontra narasi terhadap isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah."
Mengacu pada Pasal 30 UUD 1945 dan amandemennya, Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye untuk pemerintah.
"Selain itu 'mendiskreditkan' adalah tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik kepada pemerintah. Kritik publik dalam demokrasi justru bermanfaat bagi kehidupan bernegara karena menjadi kontrol kekuasaan," ujar Isnur.
Poin tujuh dan delapan dalam telegram Kapolri juga dinilai diskriminatif dan melanggar amandemen UUD 1945.
Poin ketujuh tertulis, "Secara tegas tidak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya."
Poin kedelapan tertulis, "Upaya harus dilakukan di hulu (titik awal sebelum kumpul) dan lakukan pengamanan (PAM) terbuka dan tertutup."
Isnur juga mengkritik poin kesepuluh perihal penegakan hukum terhadap pelanggaran pidana dengan jeratan pasal pada UU Kekarantinaan Kesehatan.
Isnur membandingkan dengan penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian terhadap munculnya klaster di lingkungan perkantoran.
"Bahkan berbagai laporan menunjukkan adanya klaster perkantoran tetapi Polri tidak pernah menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan untuk pengusaha ataupun pejabat yang memerintahkan pekerja/pegawai tetap bekerja," ucap Isnur.
Isnur mengingatkan bahwa Polri merupakan alat negara, bukan alat untuk memuluskan kepentingan pemerintah.
"Karena itu sulit dibantah surat telegram ini muncul karena Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah inisiatif pemerintah, dan Presiden sejak awal bahkan menginginkan RUU ini selesai dalam waktu 100 hari," tutur dia.
Isnur mendesak Presiden Joko Widodo selaku pimpinan langsung Kapolri agar tidak mengganggu netralitas serta independensi institusi Polri.
Terakhir, YLBHI meminta Presiden dan Kapolri menghormati hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Baca Juga: Kapolri Terbitkan Telegram Lawan Penolakan RUU Cipta Kerja
Penjelasan Mabes Polri Soal Telegram Kapolri
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono dalam keterangan tertulis kepada wartawan, menjelaskan telegram Kapolri Jenderal Idham Azis dengan Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020.
"Ya benar telegram itu. Sebagaimana pernah disampaikan Pak Kapolri Jenderal Idham Azis, di tengah pandemi Covid-19 ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau salus populi suprema lex esto," kata Argo, dikutip dari Kompas.com.
Menurut Argo, telegram itu bertujuan untuk menjaga situasi keamanan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Terutama terkait rencana aksi buruh yang akan berunjuk rasa sebagai bagian penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja yang akan dilakukan DPR.
Penyampaian aspirasi atau demonstrasi memang tidak dilarang, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun, penyebaran Covid-19 rawan terjadi di kegiatan yang melibatkan kerumunan massa saat ini.
"Sehingga, Polri tidak memberikan izin aksi demonstrasi atau kegiatan lainnya yang menyebabkan terjadinya kerumunan orang dengan tujuan mencegah penyebaran Covid," tuturnya.
Dengan larangan ini, Argo berharap, masyarakat bisa mematuhinya.
Sementara mengenai isi telegram yang memerintah Polri untuk melakukan patrol siber dan membuat narasi kontra penolakan RUU Cipta Kerja, Argo mengatakan, hal itu bertujuan untuk mencegah berita-berita hoaks.
“Soal melakukan cyber patroli ini pada medsos dan manajemen media bertujuan untuk mencegah berita-berita hoaks,” kata Argo.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.