Bak petir menggelegar, muncul istilah yang sama, layaknya hantu yang mengingatkan pada tragedi Semanggi 1 dan 2. Terjadi peristiwa yang tak layak dilupakan sejarah. Kasus yang menewaskan 28 warga sipil dan melukai lebih dari 300 korban lainnya.
Setidaknya inilah data yang berhasil dihimpun kala itu, salah satunya oleh sejumlah peneliti Hak Asasi Manusia (HAM) seperti Amnesty Internasional.
Kini, istilah Pam Swakarsa, akan dibentuk kembali melalui Peraturan Polri (Perpol) Nomor 4 tahun 2020, yang sudah ditanda tangani Kapolri, Jenderal Polisi Idham Aziz pada 5 Agustus 2020 lalu.
Pasukan Satpam, Satkamling, dan Preman
Isunya mencuat, karena baru muncul informasinya ke publik. Ada sejumlah catatan yang jadi perhatian. Diantaranya adalah, bentuk baru Pam Swakarsa, yang terdiri atas Petugas Satuan Pengaman Satpam dan lingkup masyarakat yang disebut dengan Satuan Keamanan Lingkungan, Satkamling.
Pada Satpam akan diberlakukan seragam yang nyaris identik dengan seragam Polri dengan identitas tanda Pangkat yang melekat. Ada sembilan tanda pangkat yang berbeda pada tiap golongan, 3 untuk Pelaksana, 3 untuk Supervisor, 3 untuk Manajer.
Sementara pada Satkamling akan dirangkul dari sejumlah perkumpulan masyarakat. Termasuk dari kelompok adat, di Bali misalnya ada Pecalang, atau dari perkumpulan masyarakat lainnya. Yang tak kalah mencuri perhatian adalah, saat Wakapolri Komjen Pol. Gatot Eddy Pramono menyebutkan bahwa pimpinan informal termasuk Preman, akan diikutkan dalam pengamanan, terkait kondisi saat ini untuk penertiban protokol kesehatan Covid-19.
"Contohnya kluster pasar, disitu kan ada jeger-jeger-nya di pasar, kita jadikan penegak disiplin. Tetapi diarahkan oleh TNI-Polri dengan cara-cara yang humanis." kata Wakapolri Komjen Gatot Eddy, saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin 14 September 2020, lalu.
"Ada pasar-pasar tradisional, realitasnya di masyarakat kita pasar tradisional itu tidak ada pimpinannya. Realitasnya mungkin menyebut kepala keamanan, mandor, jeger, preman. Mereka ini kan tiap hari di sana, bukan kita merekrut preman, itu yang keliru. Tetapi kita merangkul mereka, pimpinan-pimpinan informal yang ada di komunitas itu untuk bersama-sama kita membangun suatu kesadaran kolektif untuk mematuhi protokol Covid-19." Sambung Komjen Gatot.
Rencana akan merangkul Preman dan juga pembentukan kembali Pam Swakarsa, langsung memunculkan Pro dan Kontra.
Luka Tragedi Pam Swakarsa Reformasi 98-99
Fatia Maulidiyanti, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan pandangannya melalui rekaman yang dibagikan KontraS.
"Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan undang-undang terkait Pam Swakarsa ini, bahwa pertama, hal ini menunjukkan bahwa kepolisian sudah gagal dalam menangani pandemi seperti ini karena dari awal pemerintah telah mengerahkan pendekatan keamanan dalam masa pandemi ini. Kedua, pembentukan Pam Swakarsa ini akan melegitimasi kesewenang-wenangan lainnya dan juga konflik horizontal yang sebenarnya akan menimbulkan ketakutan di masyarakat." ungkap Fatia, pada Sabtu, 12 September 2020, lalu.
Menyikapi ada PAM Swakarsa wajah baru ini, sejumlah anggota DPR pun terbelah, ada yang setuju, ada yang keberatan. Meski benang merahnya, mereka sepakat untuk mengawasi pelaksanaan Pam Swakarsa ini.
Pengakuan Pejabat Intelejen soal Pam Swakarsa
Suara keberatan yang tak diduga justru datang dari sosok yang lama berkiprah di dunia Intelijen. Ia adalah Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI 2011 - 2013 Laksamana Muda (Purn) Soleman Ponto. Ponto keberatan, karena PAM Swakarsa harusnya dibentuk melalui Undang-Undang bukan Peraturan POLRI. Selain itu ia khawatir, Pam Swakarsa akan membentuk pasukan terlatih yang punya potensi bentrok dengan sesama warga.
"Ini harus dibentuk melalui Undang-Undang." Dan patut dicermati, Pam Swakarsa ini bisa menjelma menjadi pasukan baru, angkatan baru. Punya potensi bentrokan dengan Masyarakat." kata Ponto.
Kepada program AIMAN Kompas TV, yang tayang pada Senin, 21 September 2020, Soleman mengakui pada tahun 1998, Pam Swakarsa kala itu adalah untuk membendung aksi Mahasiswa yang masif menjatuhkan Presiden Soeharto. Soleman kala itu sudah bertugas di Intelijen ABRI kala itu dan berpangkat Kolonel.
"iya, betul itu".
"ini pertama kali diakui seorang pejabat Intelijen yang terkait saat itu, kepada publik?" tanya saya.
Ponto mengangguk!
Lalu apa kata Polri soal ini?
Saya mewawancarai Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol. Raden Prabowo Argo Yuwono. Argo menepis segala kekhawatiran.
"Tentunya semua ini ditujukan untuk mendukung keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat. Jauh dari anggapan bahwa akan ada pasukan atau angkatan kelima, tidak!" ungkap Argo.
Terlepas dari semua pro dan kontra ini. Bahwa ada hal baru yang memiliki nama yang mengingatkan pada luka lama.
Tak boleh sejarah kelam berulang. Tak boleh ada agenda yang sama tersimpan. Hanya karena kita abai mengawasinya.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.