JAKARTA, KOMPAS TV - Wartawan senior yang juga pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama meninggal dunia pada Rabu, 9 September 2020 di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Setelah dari rumah sakit, jasad Jakob Oetama akan disemayamkan di kantor Kompas Gramedia Palmerah, Jakarta. Baru keesokan harinya akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan.
Lahir di sebuah desa bernama Desa Jowahan, 500 meter sebelah timur Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 27 September 1931, Jakob Oetama wafat pada usia 88 tahun.
Jakob merupakan putra pertama dari 13 bersaudara. Ayahnya bernama Raymundus Josef Sandiyo Brotosoesiswo seorang pensiunan guru Sekolah Rakyat di Sleman, Yogyakarta dan ibunya bernama Margaretha Kartonah.
Cita-cita awal Jakob adalah menjadi pastor. Namun pekerjaan ayahnya sebagai guru membuat Jakob tidak melanjutkan cita-cita awalnya itu.
Saat ini Jakob Oetama dikenal sebagai salah satu pendiri KompasGramedia Group Bersama dengan Petrus Kanisius (PK) Ojong.
Riwayat Karier
Jakob Oetama memulai kariernya setelah keluar dari Seminari di Yogyakarta. Jakob ingin menjadi guru seperti ayahnya.
Ayahnya kemudian meminta Jakob untuk pergi ke Jakarta menemui kerabatnya bernama Yohanes Yosep Supatmo.
Supatmo sendiri bukanlah seorang guru namun memiliki Yayasan Pendidikan Budaya yang mengelola sekolah-sekolah budaya.
Pekerjaan pertama Jakob bukanlah sebagai guru di Yayasan milik Supatmo melainkan sebagai guru di SMP Mardiyuwana Cipanas, Jawa Barat pada 1952 sampai 1953.
Kemudian Jakob pindah ke Sekolah Guru Bagian B di Lenteng Agung, Jakarta pada 1953-1954 dan pindah lagi ke SMP Van Lith di Gunung Sahari pada 1954-1956.
Sekolah-sekolah tersebut di bawah asuhan para pastor Kongregasi Ordo Fratrum Minorum (OFM) atau disebut Fransiskan.
Saat itu Jakob tinggal di kompleks Sekolah Vincentius di Kramat Raya, Jakarta Pusat atau sekarang menjadi kompleks Panti Asuhan VIncentius Putra.
Sambil mengajar SMP Jakob kemudian melanjutkan studinya pada tingkat tinggi. Jakob memilih kuliah B-1 Ilmu Sejarah.
Setelah lulus melanjutkan di Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Publisistik di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Minat menulis Jakob tumbuh seiring dengan belajar sejarah. Kecintaannya dengan dunia jurnalistik tumbuh ketika mendapat pekerjaan sebagai sekretaris redaksi mingguan Penabur di Jakarta dan memutuskan berhenti mengajar pada 1956.
Jakob merasa bimbang apakah ingin menjadi wartawan profesional ataukah guru profesional. Kemudian Jakob menemui Pastor JW Oudejans OFM, pemimpin umum di mingguan Penabur.
Oudejans, Pastor tersebut menasihatinya bahwa guru sudah banyak namun wartawan tidak. Saat itulah yang menjadikan titik balik Jakob untuk fokus menggeluti dunia jurnalistik.
Pada awal 1960-an Jakob aktif menjadi pengurus Ikatan Sarjana Katolik Indonesia bersama Petrus Kanisiun (PK) Ojong.
Persahabatan Jakob dan Ojong berasal dari kesamaan pandangan politik dan nilai kemanusiaan yang dianut.
Pada April 1961, PK Ojong mengajak Jakob untuk mendirikan sebuah majalah. Majalah tersebut diberi nama Intisari mengenai perkembangan dunia ilmu pengetahuan.
Majalah Intisari yang didirikan oleh Jakob Oetama dan PK Ojong Bersama J. Adisubrata dan Irawati SH pertama kali terbit pada 17 Agustus 1963.
Majalah ini bertujuan untuk memberi bacaan bermutu dan membuka cakrawala masyarakat Indonesia.
Intisari juga dibuat sebagai pandangan politik Jakob dan Ojong yang menolak belenggu terhadap masuknya informasi dari luar.
Dalam penerbitannya, Intisari juga melibatkan banyak ahli di antaranya adalah ahli ekonomi Prof. Widjojo Nitisastro, penulis masalah-masalah ekonomi terkenal seperti Drs. Sanjoto Sasstromohardjo, dan sejarawan muda Nugroho Notosusanto.
Berkat pergaulan PK Ojong yang sangat luas Intisari berhasil terbit. Saat itu Intisari terbit dengan tampilan hitam putih dan tanpa sampul.
Intisari mendapat respons yang baik dari para pembaca dan beroplah 11.000 eksemplar.
Dilansir oleh Tribunnews, kehadiran Intisari dianggap belum cukup. Di tahun 1965 Jakob Bersama PK Ojong mendirikan Surat Kabar Kompas.
Surat Kabar Kompas yang dimaksudkan untuk menjadi pilihan alternatif dari banyaknya media partisan yang terbentuk dari kondisi politik Indonesia pasca Pemilu 1995.
Nama Kompas sendiri merupakan pemberian dari Presiden Soekarno yang berarti penunjuk arah.
Sebelumnya, nama yang akan dipilih adalah ‘Bentara Rakyat’ yang berarti koran itu ditujukan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat rakyat.
Moto yang dipilih pun “Amanat Penderitaan Rakyat”. Namun Presiden Soekarno saat itu kurang setuju dan mengusulkan nama “Kompas”.
Kemudian dari perkembangan Kompas inilah berdiri kelompok usaha Kompas Gramedia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.