JAKARTA, KOMPAS.TV - Satryo Soemantri Brodjonegoro, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Dikti Saintek) di Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto, kini menjadi sorotan publik setelah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh puluhan pegawai Kemendiktisaintek di depan kantornya di Senayan, Jakarta, Senin (20/1/2025).
Demonstrasi ini terkait dugaan pemecatan pegawai secara tidak prosedural.
Baru menjabat selama 100 hari sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, Satryo menghadapi kritik tajam dari internal kementeriannya.
Dalam aksi tersebut, pegawai menggunakan pakaian hitam dan membawa spanduk bertuliskan, “Institusi Negara Bukan Perusahaan Pribadi Satryo dan Istri.”
Aksi ini dipicu oleh dugaan pemecatan seorang pegawai bagian rumah tangga yang dinilai tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Lalu seperti apakah profil lengkap Satryo?
Mengutip laman Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro lahir di Delft, Belanda, pada 5 Januari 1956.
Satryo menikah dengan Silvia Ratnawati, dan mereka memiliki dua anak.
Sebagai seorang akademisi dan birokrat, nama Satryo telah lama dikenal dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Ia merupakan putra dari Profesor Soemantri Brodjonegoro, mantan Rektor Universitas Indonesia sekaligus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1973.
Baca Juga: 2 Jenazah Korban Kebakaran Glodok Plaza Terdeskripsi Berjenis Kelamin Perempuan
Jejak pendidikan dan pengabdian keluarga ini juga dilanjutkan oleh adiknya, Profesor Bambang Brodjonegoro, yang pernah menjabat di beberapa kementerian pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Satryo merupakan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia menyelesaikan gelar Ph.D. di bidang Teknik Mesin di University of California, Berkeley, Amerika Serikat, pada tahun 1985. Sekembalinya ke Indonesia, ia menjadi dosen di Departemen Teknik Mesin, ITB.
Kemudian pada tahun 1992, Satryo dipercaya sebagai Ketua Jurusan Teknik Mesin ITB, di mana ia memulai implementasi self-evaluation process, sebuah langkah inovatif yang kemudian diadopsi oleh ITB dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Satryo memainkan peran penting dalam reformasi pendidikan tinggi di Indonesia.
Salah satu pencapaiannya yang signifikan adalah mengubah institusi pendidikan tinggi besar menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pada Desember 2000, sebuah kebijakan yang memberikan otonomi lebih besar bagi perguruan tinggi untuk berkembang.
Namun, perjalanan Satryo di dunia pendidikan tidak lepas dari tantangan.
Salah satu isu utama yang ia hadapi adalah kualitas lulusan perguruan tinggi Indonesia yang sering kali dianggap kurang kompeten di dunia kerja.
Di sisi lain, banyak generasi muda Indonesia yang memilih bekerja di luar negeri karena merasa lebih dihargai.
Tantangan ini menjadi fokus perhatian Satryo untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia Indonesia di tingkat internasional.
Di luar birokrasi, Satryo juga aktif dalam kegiatan internasional, termasuk bekerja dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk perencanaan gedung Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin di Gowa.
Ia sempat menjabat sebagai Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) periode 2018-2023 dan menjadi Anggota Komisi Bidang Ilmu Rekayasa pada AIPI.
Kiprahnya di dunia pendidikan telah diakui dengan berbagai penghargaan, termasuk:
Baca Juga: Kesaksian Mantan Sopir Soal Anak Majikan Bunuh Satpam: Punya Sifat Temperamental!
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.