Membebani pekerja dan pengusaha
Program Tapera ramai dikritik kalangan pengusaha dan pekerja. Iuran Tapera dinilai semakin membebani di saat perkenomian yang sedang terpuruk karena pandemi Covid-19.
Selama ini pekerja dan perusahaan sudah dibebani berbagai iuran wajib. Setidaknya ada empat komponen yang sudah dipotong dari gaji pekerja; yakni iuran BPJS Kesehatan sebesar 5 persen (4 persen ditanggung perusahaan, 1 persen ditanggung karyawan); Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan sebesar 5,7 persen (3,7 persen ditanggung perusahaan, 2 persen ditanggung karyawan); Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan sebesar 3 persen (2 persen ditanggung perusahaan, 1 persen ditanggung karyawan); dan pajak penghasilan (PPh 21) bagi pekerja berpenghasilan di atas Rp 4,5 juta per bulan.
Di luar itu, berbagai perusahaan juga menetapkan pemotongan gaji berdasarkan kebijakan masing-masing sesuai kesepakatan dengan pekerja, seperti iuran anggota koperasi hingga pemotongan karena tidak masuk kerja atau keterlambatan.
Masalah duplikasi manfaat juga menjadi sorotan. Manfaat kepemilikan rumah dalam program Tapera dinilai mirip dengan program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BPJS Ketenagakerjaan yang memberikan fasilitas pembiayaan perumahan bagi pesertanya yang belum memiliki rumah.
Sementara manfaat imbal hasil simpanan Tapera sama halnya dengan program JHT BPJS Ketenagakerjaan. Bagi pekerja yang berhenti dari pekerjaan atau di-PHK, pencairan simpanan Tapera bahkan dinilai lebih sulit karena baru bisa dilakukan setelah lima tahun menganggur.
Lepas tanggung jawab
Terlepas dari momentum peluncuran Tapera yang tidak tepat di saat daya beli masyarakat yang sedang tertekan akibat pandemi, skema Tapera yang sebenarnya memiliki prinsip mulia gotong-royong dirasakan masih membebani para pekerja lainnya yang telah memiliki rumah dan berpenghasilan pas-pasan. Bagi mereka, potongan wajib 2,5% dari gaji bulanan boleh jadi sangat berarti untuk menyambung hidup hingga akhir bulan.
Tak heran jika muncul anggapan bahwa dengan Tapera pemerintah seolah ingin melepaskan tanggung jawab pemenuhan perumahan rakyat dengan membebankan semua kewajiban ke pundak para pekerja.
Lebarnya jurang antara pendapatan MBR dan harga rumah tampak ingin ditutupi dengan mewajibkan seluruh pekerja untuk berpartisipasi dan kegiatan pemupukan dana yang memiliki resiko investasi.
Di sisi lain, pemerintah tak melakukan intervensi, bahkan tak ada keinginan, untuk mencegah laju kenaikan harga rumah yang gila-gilaan yang disebabkan para spekulan tanah.
Laju kenaikan harga rumah disebabkan oleh kenaikan harga tanah yang banyak menjadi objek permainan para spekulan. Dalam setahun, kenaikan harga rumah bisa mencapai lebih dari 20%. Kenaikan ini ibarat deret ukur dibandingkan dengan kenaikan gaji para pekerja yang mengikuti deret hitung.
Tanpa ada keinginan pemerintah untuk melahirkan aturan yang bisa mematahkan permainan para spekulan dalam pengadaan tanah untuk perumahan MBR, harga rumah akan selalu jauh dari jangkauan golongan berpenghasilan rendah.
Sementara itu, mengandalkan kegiatan investasi untuk menjamin pembiayaan perumahan MBR bukannya tanpa resiko. Prinsip ini akan menjadikan BP Tapera layaknya korporasi yang mengejar profit. Sementara kerugian investasi akan ditanggung oleh para pekerja yang memiliki dana.
Masih segar dalam ingatan skandal Jiwasraya yang mengalami gagal bayar kepada para nasbahnya. Buruknya tata kelola luput dari pengawasan selama bertahun-tahun dan terakumulasi menjadi bom waktu.
Instrumen peraturan dikombinasikan dengan instrumen anggaran (APBN/APBD) seharusnya bisa dijalankan oleh pemerintah untuk menyediakan lahan bagi perumahan MBR. Sudah saatnya pemerintah melahirkan solusi perumahan rakyat tanpa harus membebani rakyat.
*Johar Arief adalah jurnalis senior yang bekerja di KompasTV. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.